Sidang kasus dugaan korupsi tata niaga Timah dengan terdakwa 4 orang pengurus CV Venus Inti Perkasa (VIP) kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta..
Sumber :
  • Istimewa

Sidang Lanjutan Kasus Korupsi Pertambangan Timah Rp271 Triliun, Pakar Hukum: Penyidiknya Bukan Orang Ahli Pertambangan

Selasa, 19 November 2024 - 13:02 WIB

 

Jakarta, tvOnenews.com - Sidang mendengarkan agenda keterangan saksi ahli dari kuasa hukum CV VIP digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (18/11/2024). 

Hal ini berkaitan dalam sidang kasus dugaan korupsi tata niaga Timah dengan terdakwa 4 orang pengurus CV Venus Inti Perkasa (VIP).

Saksis ahli yang juga sebagai Guru Besar Hukum Pertambangan Universitas Hasanuddin sekaligus pakar hukum pertambangan, Prof. Dr. Ir Abrar Saleng, SH menegaskan kasus pertambangan jika terjadi pelanggaran biasanya diselesaikan secara administrasi dan bukan pidana.

“Jika sebuah perusahaan pertambangan memiliki izin usaha penambangan (IUP) maka setiap pelanggaran yang dilakukan masuk dalam sanksi administrasi dan bukan pidana, semua kegiatan pertambangan yang berbasis izin tidak masuk illegal. Yang dipidana menambang di luar izin,” kata Abrar dalam keterangannya, Selasa (19/11/2024).

Dia juga membeberkan jika memang terjadi tindak pidana dalam perusahaan penambangan maka selain sanksi administrasi, yang berhak melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pertambangan adalah polisi dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Kementerian ESDM dan bukan pihak lain. 

“Sudah jelas yang diatur secara khusus, bahwa yang berhak melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pertambangan adalah PPNS Kementerian ESDM. Selain PPNS dan Kepolisian, Lembaga lain tidak bisa melakukan penyidikan, karena ada seorang penyidik pertambangan harus menjalani pendidikan khusus dan SK khusus,” ucapnya.

Dengan begitu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menangani kasus dugaan korupsi tata niaga Timah senilai Rp271 Triliun ini dianggap kurang memahami istilah-istilah pertambangan.

“Ini tidak akan terjadi jika memang penyidiknya adalah orang yang ahli pertambangan,” jelasnya. 

Ketika ditanya jika terjadi tindak pidana pertambangan siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban, Guru Besar Universitas Hasannudin ini menyebutkan yang bertanggung jawab adalah perusahaan yang memiliki IUP dan bukanlah pihak ketiga, termasuk masyarakat sekitar. 

“Karena berdasarkan undang-undang pertambangan, perusahaan yang memegang IUP sah seandainya ingin bekerja sama dengan pihak ketiga, namun jika ada masalah tanggung jawabnya tetap ada di pihak pemegang IUP,” tuturnya.

Sementara saksi ahli dari Universitas Sumatera Utara, Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum menambahkan UU TIpikor bukanlah UU Sapu Jagat yang bisa menjerat seseorang berdasarkan adanya kerugian keuangan negara.

Sebab, tidak semua bisa digeneralisasi sebagai Tipikor berdasarkan adanya kerugian keuangan negara. 

“Kalau semua yang merugikan keuangan negara dianggap sebagai Tipikor nah itu kan berbahaya. Karena nelayan yang menangkap ikan secara illegal (illegal Fishing) bisa dijerat UU Tipikor. Jangan nanti orang menggali tanah dianggap merusak lingkungan bisa dikenakan pasal tipikor. Fakta-faktanya kita lihat dulu,” imbuh dosen hukum pidana Universitas Sumatera Utara ini,

Doktor Ilmu Hukum USU ini mengingatkan sebagai UU khusus (lex spesialis), UU Tipikor tidak bisa juga langsung digunakan untuk berbagai perkara.

UU ini hanya bisa digunakan ketika tidak ada undang-undang yang mengatur satu perbuatan yang bersifat khusus.

Tapi jika ada UU undang-undang khusus, maka baru bisa diberlakukan undang-undang Tipikor.

“Jika ada dua undang-undang khusus diadu, maka mana yang harus diterapkan? Harus kita lihat dulu domain perbuatannya. Misalnya jika Undang-undang Tipikor berhadapan dengan undang-undang kepabean, UU Perbankan, UU Perpajakan atau UU Minerba maka belum tentu yang diterapkan UU Tipikor,” paparnya.

Dikatakan, dalam UU Tipikor harus dibuktikan dulu unsur-usur melawan hukumnya, menguntungkan atau memperkaya diri dan terakhir merugikan keuangan negara.

Dia juga menuturkan penggunaan perhitungan kerusakan lingkungan sebagai landasan menghitung besaran dugaan korupsi juga haruslah diuji terlebih dahulu.

“Jadi penting menguji apakah melawan hukum dan merugikan keuangan negara. Maka harus diuji dulu UU mana yang dilanggar jika ada irisan dengan UU lain, maka harus diteliti secara khusus dan sistematis,” pungkasnya.(lkf)

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
01:27
02:03
01:17
02:24
05:54
02:28
Viral