- Pixabay
Ahli Hukum Keuangan Negara Ungkap Perbedaan Kewenangan BPK dan BPKP dalam Menghitung Kerugian Negara
Jakarta, tvOnenews.com - Saksi Ahli Hukum Keuangan Negara, Dian Puji Simatupang menghadiri dalam persidangan sebagai saksi ahli dari terdakwa eks Direktur Utama PT Timah Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Helena Lim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).
Dian lantas membedakan kewenangan BPK dan BPKP dalam menghitung kerugian uang negara.
Dia mengungkapkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak bisa menghitung kerugian negara.
Menurutnya, yang berwenang untuk melakukan, menilai, dan menghitung kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai dengan Pasal 23E ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan turunannya Pasal 10 ayat 1 UU 15 Tahun 2006 Tentang BPK.
"Kalau kita bisa membaca Perpres 192 tahun 2014 tentang BPKP yang diubah pada 2022, itu BPKP hanya diberikan fungsi menghitung kerugian negara, tapi itu juga dalam rangka pengendalian intern pemerintah, jadi melakukan identifikasi, pencegahan, dalam rangka mencegah pemberosan efektivitas terhadap penggunaan APBN," kata Dian dalam keterangannya, Kamis (21/11/2024).
Dalam aturan yang berlaku, hanya BPK yang berwenang sebagai lembaga untuk melakukan perhitungan kerugian negara.
"Jadi kalau dicari seluruh peraturan perundangan tidak ada satu pun lembaga, kecuali BPK di pasal 10 ayat 1. BPK berwenang menilai kerugian negara akibat perbuatan hukum atau kelalaian di keuangan negara, APBN, APBD, dan seluruh pengolahan negara lainnya, jadi penegasan itu memang yang mulia hanya kewenangan itu ada di BPK sendiri," jelasnya.
Dian juga menjabarkan, BPKP memiliki fungsi yang tertuang di dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008 Tentang SPIP. Fungsi BPKP apabila diberikan mandat oleh BPK, atau dari Presiden yang didelegasikan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri untuk melakukan menghitung kerugian negara.
"Pertama Presiden yang menugaskan, Menteri Keuangan yang memberi delegasi atau Menteri Dalam Negeri yang meminta. Jadi tiga itu saja, atas dasar itu maka fungsi BPKP melakukan penilaian ke negara dapat dilakukan. Tapi kalau misalnya pPesiden tidak meminta, BPK tidak, Menteri Keuangan tidak meminta, sehingga berarti kan tidak bisa melaksanakan fungsi penilaian kerugian negara tersebut," jelas Dian.
BPKP juga melakukan perhitungan kerugian negara tanpa ada mandat dari BPK atau Presiden, maka perhitungannya menjadi tidak sah.
"Jadi tadi ada syarat kewenangan di pasal 56 ayat 1 huruf A. Pasal 56 ayat 1 menyebabkan menjadi produknya menjadi tidak sah," tegas Dian.
Selain itu, Dian juga menjelaskan bahwa tambang bukan merupakan aset negara sesuai dengan PP Nomor 71 Tahun 2010.
Oleh karena itu, kerusakan lingkungan bukan menjadi kerugian negara.
"Maka disitulah di dalam PP 71/2010 jelas dinyatakan bahwa itu karena sedang dikejarkan dikuasai pihak lain, maka yang menjadi hak negara adalah pada penerimaan pajak dan juga PNBP serta hak-hak lain yang dibayarkan menurut peraturan perundang-undangan," terang dia.
"Juga tentu tidak (kerugian negara). Kembali lagi bahwa aset-aset seperti itu tidak menjadi tanggungan pemeliharaan negara, dan juga tadi bahwa adanya hipotesis atau asumsi bahwa kalau kerusakan itu akan langsung dibiayai negara itu menurut saya agak paradoksal dan rumit di dalam sistem keuangan negara Indonesia yang mulia," sambungnya.(lkf)