Mabes Polri.
Sumber :
  • IST

Isu Mengembalikan Polri di bawah TNI atau Kemendagri Bertentangan dengan TAP MPR

Senin, 2 Desember 2024 - 10:14 WIB

Jakarta, tvOnenews.com - Pengembalian Polri di bawah TNI atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tidak hanya mengabaikan prinsip reformasi, tetapi juga bertentangan dengan landasan hukum yang telah ditetapkan dalam TAP MPR. 

Menurutnya, gagasan ini melanggar dasar konstitusional yang menjamin pemisahan peran dan fungsi antara kepolisian dan militer, ungkap Ketua Umum Cendekia Muda Nusantara (CMN), Afan Ari Kartika dalam keterangannya pada diskusi publik di Jakarta, (30/11/24)

Afan menjelaskan bahwa wacana ini jelas bertentangan dengan TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Aturan ini menjadi tonggak reformasi untuk memastikan supremasi hukum berjalan dengan baik dan tidak boleh diabaikan begitu saja.

Afan menambahkan bahwa TAP MPR memiliki kedudukan hukum yang kuat dan tidak dapat dihapus tanpa melalui prosedur hukum yang sesuai. Ia merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XXI/2023 yang menegaskan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengeluarkan ketetapan yang bersifat mengatur (regeling) dan berlaku mengikat keluar.

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa hilangnya kewenangan MPR tersebut adalah konsekuensi dari perubahan mendasar dalam UUD 1945 yang memengaruhi sistem ketatanegaraan Indonesia, khususnya perubahan fungsi dan kewenangan MPR. 

Dengan demikian, TAP MPR yang dikeluarkan sebelum amandemen UUD 1945 tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.

“TAP MPR ini adalah produk hukum yang mengatur dengan jelas pemisahan peran TNI dan Polri, sekaligus menjadi landasan bagi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Mengubah struktur Polri tanpa memperhatikan aturan ini adalah pelanggaran serius terhadap hierarki hukum,” tegas Afan.

Afan mengingatkan bahwa pemisahan Polri dari TNI merupakan salah satu capaian besar reformasi pasca-Orde Baru. Sebelum reformasi, Polri berada dalam struktur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang menggabungkan fungsi pertahanan dan keamanan. Hal ini menyebabkan tumpang tindih kewenangan, penggunaan pendekatan represif, serta lemahnya perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Melalui TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 dan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000, peran Polri sebagai penjaga keamanan dalam negeri dan penegak hukum dipisahkan secara tegas dari peran TNI sebagai penjaga pertahanan negara. Pemisahan ini bertujuan untuk menciptakan institusi kepolisian yang profesional, transparan, dan bebas dari intervensi politik maupun militer.

Afan menilai bahwa mengembalikan Polri di bawah TNI atau Kemendagri akan merusak sistem penegakan hukum yang telah dibangun selama lebih dari dua dekade terakhir. Polri yang berada di bawah Kemendagri akan rentan terhadap intervensi politik, sementara Polri di bawah TNI akan menghadapi risiko dominasi pendekatan militeristik.

“Penegakan hukum membutuhkan independensi penuh agar berjalan adil dan transparan. Jika Polri kehilangan kemandiriannya, tidak hanya supremasi hukum yang terancam, tetapi juga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan kita,” jelas Afan.

Ia menambahkan bahwa tumpang tindih fungsi dan hilangnya profesionalisme Polri akibat perubahan struktur kelembagaan akan membawa Indonesia kembali ke masa otoriter yang bertentangan dengan semangat reformasi.

Afan juga menyerukan kepada seluruh elemen bangsa untuk menolak wacana ini demi menjaga supremasi hukum dan warisan reformasi.

“Putusan Mahkamah Konstitusi telah menegaskan posisi hukum TAP MPR sebagai landasan yang tidak dapat diubah begitu saja. Mengabaikan aturan ini adalah penghancuran terhadap prinsip ketatanegaraan dan reformasi yang telah kita perjuangkan bersama,” pungkasnya. (ebs)

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
13:59
03:06
00:48
01:35
05:42
01:31
Viral