- IG @pierresangpatriot
Ibunya Memohon Pierre Tendean Ditarik dari Operasi Penyusupan di Malaysia, Tapi Bahaya Ini Justru Mengintainya di Jakarta
Pasukan bersenjata dari pemuda rakyat dan gerwani dalam jumlah besar itu hilang nyalinya, ketika melihat sepasukan baret merah dari kejauhan datang mendekat. Mereka sontak kabur meninggalkan kawasan Lubang Buaya.
Padahal jumlah mereka lebih banyak dibandingkan dengan bayang-bayang baret merah dari kejauhan. Tapi jelas, mereka bukanlah apa-apa dibanding pasukan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) pimpinan Mayor CI Santoso itu.
Hari itu, Minggu 3 Oktober 1965, pusat operasi G30S PKI di kawasan Lubang Buaya akhirnya takluk dibawah serbuan RPKAD dan pasukan gabungan dari Kostrad.
Pasukan yang berada dibawah komando Mayjen Soeharto dan Jenderal Nasution itu kemudian melakukan penyisiran. Hasilnya sekira pukul 17.15 sore, mereka menemukan sebuah lubang mencurigakan, dengan kedalaman sekitar 12 meter dan berdiameter 0,75 meter.
Lubang yang merupakan sumur tua itu ditimbun dengan sampah-sampah kering, batang-batang pohon pisang, daun singkong dan tanah secara berselang-seling.
Foto: Dokumentasi Film Pengkhianata G30S PKI, Suasana pengangkatan jenazah di Lubang Buaya
Di dalam lubang tersebut, ditemukan sejumlah jasad yang belum dikenali. Namun diduga kuat, jasad tersebut terkait dengan hilangnya para jenderal pimpinan Angkatan Darat yang diculik oleh kelompok G30S PKI pada dini hari, tanggal 1 Oktober.
Karena kondisi mulai gelap, proses penggalian mengalami sejumlah kendala teknis, maka diputuskan proses evakuasi jasad di dalam lubang tersebut akan dilanjutkan pada keesokan harinya, Senin 4 Oktober 1965.
Pengangkatan Jenazah Korban G30S PKI
Pagi itu, karena sempit dan dalamnya lubang sumur tua itu, pengangkatan jenazah yang terkubur di dalamnya menjadi sangat sulit dilakukan.
Secara teknis penggalian dilakukan oleh anggota-anggota Kesatuan Intai Para Amphibi (KIPAM) dari KKO Angkatan Laut dengan memakai alat-alat seperti tabung zat-zat asam dan lain sebagainya.
Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Suharto datang langsung memantau proses penggalian. Ia tak datang sendiri, bersamanya ikut serta jajaran pimpinan Angkatan Darat dan rombongan wartawan yang ikut mengabadikan proses pengangkatan jenazah tersebut.
Foto: Kapten Pierre Tendean (Wikpedia - IG @pierresangpatriot)
Masykuri, dalam bukunya "Pierre Tendean" terbitan 1983/1984 menceritakan jam demi jam proses pengangkatan jenazah para korban G30S PKI tersebut.
Pada pukul 12.00, pertama kali berhasil dinaikkan jenazah Lettu. Pierre Tendean, Ajudan Jenderal Nasution. Pada jam 13.40 menyusul jenazah Mayor Jenderal Suprapto dan Mayor Jenderal S. Parman.
Pada jam 13 .50, jenazah Letjen. A. Yani yang diikat menjadi satu dengan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, serta jenazah Mayor Jenderal Haryono MT. Dan akhirnya, pada jam 14.10 berhasil diangkat jenazah Brigadir Jenderal DJ. Panjaitan.
Dari urut-urutan pengangkatan jenazah itu tampaklah bahwa Lettu. Pierre Tendean merupakan perwira yang paling akhir dilemparkan ke dalam sumur maut itu oleh pelaku G30 S PKI.
Pulang dari Garis depan yang Berbahaya
Peti jenazah berbalut bendera merah putih itu dipeluk Maria Elizabeth, hatinya pilu dan terluka. Sambil terisak Ia hanya bisa berkata,
"Pierre, wat is er met jou gebeurd? (Pierre, apa yang terjadi denganmu?) " isaknya menagisi kepergian putra satu-satunya itu, Kapten Anumerta Pierre Andrias Tendean.
Maria Elizabeth Cornet, perempuan berdarah Prancis tersebut seolah meratapi takdir putranya itu. Pierre gugur justru disaat Maria Elizabeth tengah merayakan ulang tahunnya pada 30 September 1965.
Foto: Kapten Pierre Tendean dan Keluarga (Sumber: @vz_pierre)
Barangkali saja, diantara semua kenangan tentang putra kesayangannya itu, mungkin saja Ia teringat tentang bagaimana upayanya memulangkan Pierre dari garis depan pertempuran pada Operasi Dwikora di Malaysia.
Ketika operasi Dwikora dicetuskan, Letda Pierre Tendean bertugas sebagai Komandan Peleton pada Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II Bukit Barisan, di Medan.
Pada tahun 1963 Pierre mendapat panggilan ke Sekolah Intelijen di Bogor. Pendidikan ini dimaksudkan untuk mempersiapkan Letda Pierre menerima tugas yang lebih berat.
Setelah menamatkan pendidikan intelijen ini, Letda Pierre ditugaskan untuk memimpin kelompok sukarelawan yang melakukan penyusupan ke daerah Malaysia.
Foto: Kapten Anumerta Piere Tendean bersama dengan kedua kakak
perempuannya Mitzi Farre (duduk) dan Rooswidiati (Masykuri, "Pierre Tendean" - 1983/1984)
Pierre diperbantukan kepada Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) yang bertugas di garis depan dan bermarkas di Selat Panjang, Riau.
"Seluruh keluarganya, terutama ibu Pierre menjadi sangat prihatin ketika Letda Pier mendapat tugas khusus menyusup ke daerah Malaysia, diperbantukan kepada Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat yang bertugas di garis depan." ungkap Masykuri dalam bukunya "Pierre Tendean" 1983/1984.
Baca Juga: Si Ganteng Kapten Pierre Tendean, Idola Para Wanita dan Ajudan Rebutan Tiga Jenderal
Ibu Pierre, Maria Elizabeth berusaha agar Pierre segera dapat ditarik kembali ke garis belakang. Ia merasa garis belakang pertempuran adalah tempat yang aman untuk putra satu-satunya itu. Walaupun Pierre sendiri lebih menyukai tugas berbahaya yang Ia jalani di garis depan pertempuran.
Kebetulan Maria merupakan kawan baik dari mertua Jenderal A.H. Nasution, yang tinggal bersama-sama dengan menantunya itu di jalan Teuku Umar 40 Jakarta, sehingga ada hubungan baik antara keluarga Jenderal Nasution dengan keluarga Dr.Tendean.
"Karena itu lbu Tendean memberanikan diri memajukan permohonan kepada Jenderal A.H. Nasution yang ketika itu menjabat Menko Hankam KASAB, agar puteranya, Letda Pierre Tendean ditarik dari tugas khusus yang sangat berbahaya itu" tulis Masykuri dalam bukunya.
Permohonan serupa juga diajukan kepada Mayor Jenderal Dendi Kadarsan yang ketika itu menjabat Direktur Zeni Angkatan Darat yang telah dikenal Ibu Tendean sejak puteranya menjadi Taruna ATEKAD di Bandung.
Pierre Tendean, kemudian akhirnya ditarik pulang berkat permintaan ibunya itu dan ditempatkan dalam tugas baru, sebagai Ajudan Menhan Pangab, Jenderal Nasution.
Tapi ajal manusia siapa yang dapat menebak? sang Ajudan ganteng yang penuh talenta itu, akhirnya gugur, justru disaat ia berada ditempat yang dekat dengan ibunya. (Buz)
Ikuti terus berita terbaru melalui channel YouTube tvOneNews: