Keluarga Jenderal AH Nasution.
Sumber :
  • Wikipedia

Nasution Lolos dari Penculikan G30S PKI, Tapi Tiga Sosok Ini Gugur Sebagai Perisai Sang Jenderal

Kamis, 30 Juni 2022 - 08:18 WIB

Dini hari itu, 1 Oktober 1965, sekira pukul 03.00 pasukan Cakrabirawa mengepung rumah jenderal Nasution di jalan Teuku Umar 40, Ia merupakan target utama penculikan dalam peristiwa bersejarah G30S PKI.

Tapi jalan hidup sang Jenderal yang kenyang dengan banyak pertempuran itu tak berhenti disitu, Ia lolos dari penyergapan di rumahnya, melompat lewat pagar dan bersembunyi di sekitar rumah tetangganya Dr.Leimena.

Sebagaimana yang tulis peneliti asal Amerika Serikat, Victor M. Fic, dalam bukunya "Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Studi Tentang Konspirasi", pagi itu, pukul 06.00, Jenderal Nasution keluar dari persembunyiannya di sekitar rumah Dr. Leimena di Jalan Teuku Umar 36.

Foto: Jenderal Nasution saat pemakaman pahlawan revolusi, 5 Oktober 1965 (Dok.Film Pengkhianatan G30S PKI)

Ia kemudian masuk lewat pagar ke rumahnya sendiri di Jalan Teuku Umar 40. Kakinya terluka akibat terjatuh dari pagar tembok rumahnya saat berupaya meloloskan diri.

Nasution kemudian dibawa dengan mobil oleh Letnan Kolonel Hidajat Wirasondjaja, Komandan Staf Markas Besar AD, ajudannya Mayor Sumargono dan ipar laki-laki Nasution, Bob Sunarjo Gondokusomo, ke persembunyian baru.

" Mereka khawatir para pembunuh akan terus mengejar Nasution untuk kembali mencoba membunuhnya jika ia dibiarkan di rumahnya atau di sekitar situ. Kekhawatiran mereka ternyata beralasan, karena tidak lama setelah Nasution lolos seorang anggota Tjakrabirawa datang ke rumahnya mencari dia dan menanyakan di mana Nasution." tulis Victor M. Fic.

Demi keamanan dirinya, Sang Jenderal kharismatik yang telah kenyang dengan berbagai pertempuran itu harus tiarap di lantai mobil saat dibawa keluar dari kawasan Teuku Umar. 

Dari lokasi persembunyiannya Sang Jenderal yang terluka itu kemudian menyusun rencana serangan balasan kepada kelompok G30S PKI. Nasution selamat dari upaya pembunuhan, tapi tiga sosok berikut ini harus gugur sebagai perisai sang jenderal.

 

Ade Irma Suryani Nasution

Putri bungsu jenderal Nasution, Ade Irma Suryani Nasution yang masih berusia 5 tahun digendong sang Ibu Johana Sunarti Nasution, dipunggung gadis kecil itu darah masih mengalir akibat luka tembak dari kelompok penculik G30S PKI.

Eka Trisyany Edyanti, cucu jenderal Nasution dalam penuturannya pada channel YouTube eradotid menuturkan, dalam siatuasi itu Ibu Nasution bertanya kepada putrinya yang terluka.

"Ade masih hidup?" 
"Masih mama" jawab Ade
"Apanya yang sakit?" tanya Ibu Nasution
"perut mama"
"Kenapa ayah ditembak?" tanya Ade.

Foto: Ade Irma Suryani Nasution (IG @pierresangpatriot)

Menurut Eka, sebelum peristiwa tragis itu, Ibu Nasution sudah memiliki firasat bahwa kemungkinan seperti yang dialami suami dan putrinya itu akan terjadi. 

"Oma itu punya indera ke 6, kalau suatu saat nanti ada orang yang datang ke rumah mengambil Opa. Kalau sampai itu kejadian harus ngumpetin Opa dimana itu sudah terbayang, sampai Oma juga sudah tahu bahwa Oma itu tidak lama untuk bisa menggendong tante Ade" ungkap Eka.

Baca Juga: Pembalasan Sang Jenderal yang Terluka, Pukulan Keras Nasution Usai Lolos dari Pembunuhan G30S PKI

Ade Irma Suryani, lahir 19 Februari 1960 dan meninggal pada 6 Oktober 1965, setelah sebelumnya menjalani perawatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat di Jakarta.

Saat pemakaman, dari rumah sakit tempat Ade Irma Nasution dirawat, Ibu Johana Nasution dengan ketegaran yang luar biasanya menggendong jenazah putri bungsunya itu hingga ke lokasi pemakaman. 

Di tempat peristirahatan terakhirnya, di kawasan Kebayoran Baru, persis di samping Kantor Wali Kota Jakarta Selatan. Di depan nisan Ade, tertulis kata-kata dari sang ayah, Jenderal Nasution. 

"Anak saya yang tercinta, engkau telah mendahului gugur sebagai perisai ayahmu."


Kapten Pierre Tendean

Maria Elizabeth Cornet, perempuan berdarah Prancis tersebut seolah meratapi takdir putra satu-satunya itu, Pierre Andrias Tendean, yang gugur justru disaat Maria tengah merayakan ulang tahunnya pada 30 September 1965.

Dengan terisak-isak, Ia memeluk peti jenazah putranya yang berbalut bendera merah putih. Ia hanya bisa berkata,

"Pierre, wat is er met jou gebeurd? (Pierre, apa yang terjadi denganmu?)" isak Maria Elizabeth, dikutip dari penuturan Masykuri dalam bukunya "Pierre Tendean" terbitan 1983/1984.

Foto: Kapten Pierre Tendean (Wikpedia - IG @pierresangpatriot)

Ketika terjadi upaya penculikan terhadap Jenderal Nasution oleh G30S PKI, Pierre tidak sedang menjalankan piket sebagai ajudan. la telah menyerahkan tugas piket pada hari itu kepada Komisaris Polisi Hankam Mansyur. 

Akan tetapi karena inisiatifnya sendiri ketika mendengar serentetan tembakan yang ditujukan kepada Jenderal Nasution, ia segera mengambil jaket dan senjatanya, kemudian keluar. Akibatnya ia ditangkap dan dibawa oleh gerombolan penculik, karena disangka Jenderal Nasution. 

Tindakan spontan Lettu Pierre Tendean sebagai ajudan itu secara tidak langsung telah menyelamatkan jiwa Menko Hankam KASAB Jenderal Nasution dari upaya pembunuhan kelompok G30S PKI.

Baca Juga: Tangis Maria Elizabeth Diatas Peti Jenazah Kapten Pierre Tendean, "Pierre, Apa yang Terjadi Denganmu?"

Pada tanggal 4 Oktober 1965, usai pusat komando G30S PKI di kawasan Lubang buaya direbut oleh pasukan RPKAD dan Kostrad, proses pengangkatan jenazah para korban penculikan kemudian dilakukan.

Pada pukul 12.00, pertama kali berhasil dinaikkan jenazah Lettu. Pierre Tendean, Ajudan Jenderal Nasution. Pada jam 13.40 menyusul jenazah Mayor Jenderal Suprapto dan Mayor Jenderal S. Parman. 

Foto: Dokumentasi Film Pengkhianata G30S PKI, Suasana pengangkatan jenazah di Lubang Buaya

Pada jam 13 .50, jenazah Letjen. A. Yani yang diikat menjadi satu dengan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, serta jenazah Mayor Jenderal Haryono MT. Dan akhirnya, pada jam 14.10 berhasil diangkat jenazah Brigadir Jenderal DJ. Panjaitan. 

Dari urut-urutan pengangkatan jenazah itu tampaklah bahwa Lettu. Pierre Tendean merupakan perwira yang paling akhir dilemparkan ke dalam sumur maut itu oleh pelaku G30 S PKI.

 

Brigadir Polisi Karel Sadsuitubun

Ajun Inspektur Dua Karel Sadsuitubun, pagi itu 1 Oktober 1965, baru saja menyelesaikan tugasnya, melakukan penjagaan di rumah Dr.J Leimena, di jalan Teuku Umar 36 Jakarta, yang bertetangga dengan rumah jenderal Nasution di Teuku Umar 40.

Karel baru saja menyempatkan diri untuk tidur, ketika para penculik pun datang mengepung rumah jenderal Nasution. Pasukan Pasopati yang ditugaskan menculik jenderal Nasution itu kemudian menyekap para pengawal di rumah Dr. J. Leimena. 

Karena mendengar suara gaduh maka Karel Sadsuitubun terbangun, dengan membawa senjata ia mencoba menembak para gerombolan PKI tersebut. Namun ia kemudian ditembak dan tewas seketika.

Foto: Brigadir Polisi Anumerta Karel Sadsuitubun (Ist)

Dilansir dari laman Wikipedia, Karel Sadsuitubun lahir di Tual, Maluku Tenggara pada tanggal 14 Oktober 1928. Ketika telah dewasa ia memutuskan untuk masuk menjadi anggota Polri. 

Usai mengikuti Pendidikan Polisi, Karel ditempatkan di Kesatuan Brimob Ambon dengan Pangkat Agen Polisi Kelas Dua atau sekarang Bhayangkara Dua Polisi. 

Ia pun ditarik ke Jakarta dan memiliki pangkat Agen Polisi Kelas Satu atau Bhayangkara Satu Polisi. Karel sempat ikut dalam operasi Trikora pembebasan Irian Barat. 

Setelah selesi operasi militer di Irian Barat, ia diberi tugas untuk mengawal kediaman Wakil Perdana Menteri, Dr. J. Leimena di Jakarta. Berangsur-angsur pangkatnya naik menjadi Brigadir Polisi.

Pemerintah kemudian menganugerahkan gelar Pahlawan Revolusi kepada Ajun Inspektur Dua Karel Sadsuitubun. Pangkatnya dinaikkan menjadi Ajun Inspektur Dua Polisi. Namanya juga kini diabadikan menjadi nama sebuah Kapal Perang Republik Indonesia dari fregat dengan nama KRI Karel Sadsuitubun. (Buz)

Ikuti perkembangan berita terbaru melalui channel YouTube tvOneNews:

 

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
03:02
03:01
02:57
02:35
05:18
01:38
Viral