- Dok. Maarten Hidskes
Mitos dan Fakta Kapten Westerling yang Membantai Warga Sulawesi Selatan, Jago Menembak dan Kebal Peluru
Kamis, 5 Desember 1946, 123 personel pasukan khusus Belanda atau Depot Speciale Troepen (DST) itu tiba di Makassar, Sulawesi Selatan. Pasukan itu datang dengan membawa misi khusus atas permintaan penguasa militer Belanda di Makassar, Koloner De Vries, untuk melakukan "penertiban" di wilayah tersebut.
Pasukan itu dipimpin oleh seorang Kapten Belanda kelahiran Turki, bernama Raymond Pierre Paul Westerling, atau Kapten Westerling. Pria ini, 4 bulan sebelumnya, tepatnya pada 20 Juli 1946, baru saja diangkat menjadi komandan pasukan khusus DST.
“Ibu saya warga negara Turki berdarah Yunani. Ayah saya orang Belanda,” kata Westerling pada jurnalis senior dan sejarawan Salim Said, dalam sebuah wawancara khsusus pada awal musim panas 1970 di Amsterdam.
Foto: Kapten Westerling (Wikipedia)
Tak semuanya dari 123 personel DST yang dikirim ke Sulawesi Selatan itu orang Belanda, sebagian dari mereka merupakan pemuda asal Belanda, kebanyakan dari mereka adalah pemuda berdarah Sunda, Ambon, Manado, Jawa dan Timor. Hanya sekitar 30-an personilnya yang merupakan orang Belanda.
Opsir Penghubung Hay, salah satu dari 123 anggota pasukan itu berkisah, sebelum diberangkatkan ke Sulawesi Selatan, dengan lantang sang Kapten berpidato dihadapan anak buahnya.
"Siapa yang tidak sanggup berdiri dengan kedua kaki berada dalam genangan darah setinggi pergelangan kaki, silahkan pergi sekarang!" kata Westerling.
Dua anggota pasukan khusus lainnya, Herman dan Wim, dalam kesaksiannya mengatakan, beberapa pemuda dalam barisan pasukan Westerling benar-benar memutuskan untuk mengundurkan diri.
"Pinky, tiba-tiba dia kabur, terlalu berat baginya. Dia kembali ke bagian ketentaraan yang sebelumnya. Kapten tidak memandang rendah siapapun" kata Wim dan Herman sambil menunjukkan sosok seorang pemuda kurus di sebuah foto.