- Antara
26 Tahun Persitiwa 'Kudatuli', Sejarah Kelam Pelanggaran HAM di Indonesia Jangan Hanya Sekadar Membangun Monumen
Jakarta - Hari itu, Sabtu pagi 26 tahun silam Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat menjadi saksi peristiwa kerusuhan yang hingga saat ini masih menjadi misteri. Kudatuli, alias Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (27 Juli 1996).
Bentrokan pecah antar kedua kubu yang bertikai. Dualisme kepemimpinan di tubuh Partai Demokrasi Indonesia disinyalir jadi pemicu konflik. Kerusuhan meluas, trauma mengambang. Dan kini, misteri itu masih saja gelap tak kunjung terang.
"Dulu saya melihat ada yang ditusuk bayonet. Ibu itu belakangan tidak ada lagi. Kemana? Ada juga teman saya hilang itu sampai sekarang tidak ketemu,” tukas Politisi PDIP Ribka Tjiptaning, saat menghadiri acara peringatan 26 tahun Kudatuli, Kamis (21/7/2022).
Tak hanya Ribka, peristiwa Kudatuli juga menyisakan catatan kelam dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (komnas HAM) mencatat, akibat peristiwa itu 5 orang tercatat meninggal, 149 mengalami luka, dan 23 orang hilang tanpa pernah ditemukan.
Perpecahan Partai dan Campur Tangan Orde Baru?
Pecahnya bentrokan Kudatuli berawal dari adanya konflik internal di tubuh Partai Demokrasi Indonesia antara kelompok pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi kongres PDI di Medan) dan kubu Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum versi hasil Munas di Kemang, Jakarta Selatan).
Kedua kubu yang saling mengklaim mereka merupakan ketua umum yang sah akhirnya terlibat bentrokan saat ratusan orang pendukung Soerjadi mendatangi markas DPP Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro yang diduduki kubu Megawati.