- tim tvonenews
Judicial Review KUHAP Tentang Dakwaan Berkali-kali Langgar HAM, Pakar Hukum Bilang Begini
Jakarta - Pakar hukum pidana yang juga mantan jaksa, Andi Hamzah mengaku kaget ada terdakwa didakwa berkali-kali dalam satu kasus. Hal itu ia sampaikan dalam sidang judicial review KUHAP di Mahkamah Konstitusi (MK) yang dimohonkan Umar Husni.
Di mana Umar Husni didakwa di kasus perpajakan. Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto menyatakan batal demi hukum. Lalu jaksa mengajukan dakwaan lagi berkali-kali. Hal ini membuat Umar Husni merasa hak asasinya terampas.
“Bagaimana dengan dakwaan yang berkali-kali, apakah tidak melanggar HAM?” kata pengacara Umar Husni, Rusdianto ke ahli dalam sidang di MK yang disiarkan di chanel YouTube MK, dipantai Jumat (5/8/2022).
Mendapat pertanyaan itu, Andi Hamzah yang diajukan ahli oleh jaksa, mengaku kasus itu adalah permasalahan penegakan hukum oleh pengadilan. Bukan masalah penuntutan oleh jaksa.
“Kapan batal demi hukum dan boleh diajukan lagi? Itu masalah Mahkamah Agung. Silahkan tanya Mahkamah Agung,” ucap Andi Hamzah.
Andi Hamzah menyatakan seharusnya ada toleransi pengadilan atas kesalahan pendakwaan. Contohnya salah penulisan tanggal. Harusnya 11 Agustus, tapi tertulis 1 Agustus. Oleh sebab itu, Andi Hamzah menilai dakwaan boleh berkali-kali, dan selain itu dia masih terdakwa.
“Masalahnya ini tidak pernah terjadi. Saya 40 tahun jadi jaksa tidak pernah terjadi seperti ini. Jarang sekali, tidak pernah ada yang memutus batal demi hukum. Ini harus dijawab Mahkamah Agung ini,” terang Andi Hamzah.
Menyalahi Semangat KUHAP
Dalam sidang sebelumnya, ahli pidana Arif Setiawan menyatakan pendakwaan yang dilakukan berkali-kali terhadap satu orang dalam kasus yang sama, merupakan bentuk pelanggaran HAM. Langkah penyidik melakukan pendakwaan berulang dinilai menyalahi spirit KUHAP.
"Spirit utama munculnya KUHAP adalah untuk memperbaiki hukum acara pidana yang lebih melindungi hak asasi tersangka atau terdakwa," kata Arif.
Arif menyatakan apabila aparat penegak hukum pidana dibekali dengan serangkaian kewenangan dan kekuasaan untuk melakukan tindakan penegakan hukum pidana yang potensial dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan hak-hak asasi tersangka ataupun terdakwa sebagai akibat dipergunakannya kewenangan tersebut.
Kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum pidana itu mulai dari kewenangan yang paling ringan sekadar untuk menghentikan dan menanyakan identitas seseorang, hingga kewenangan yang paling kuat seperti melakukan upaya paksa menangkap, menahan, menggeledah, menyita, dan lain sebagainya.
"Kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan, maka kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum pidana dalam praktiknya sering juga terjadi penggunaan kewenangan yang tidak sesuai dengan yang sesungguhnya," kata dosen FH UII Yogyakarta itu.
Adapun hakim Suhartoyo dalam persidangan sebelumnya menilai meski pengulangan dakwaan dibolehkan secara UU, namun hal itu bisa menjadi preseden negatif ke tersangka.
"Tapi kalau kemudian kepentingan orang yang kemudian didakwa secara berulang‑ulang, meskipun tadi disampaikan bahwa yang kedua dan yang ketiga tidak dilakukan penahanan, yang sangat mendasar adalah tetap orang itu terbelenggu dengan status masih sebagai tersangka atau terdakwa itu," kata Suhartoyo.
"Persoalan ditahan atau tidak ditahan itu, persoalan nomor dua kan, perampasan kemerdekaan," sambung Suhartoyo.
Sidang itu berjalan kurang lebih satu jam. Judicial review ini akan dilanjutkan MK pekan depan. (ito)