- kejaksaan.go.id
Kejaksaan RI Hentikan 9 dari 10 Kasus Hukum akukan Restorative Justice
Jakarta - Jaksa Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum menyetujui sembilan dari 10 permohonan penghentian penuntutan. Penghentian ini berdasarkan restorative justice atau keadilan restoratif.
Kapus Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana mengatakan penghentian perkara dilakukan atas dasar beberapa pertimbangan. Salah satunya telah dilaksanakan proses perdamaian antara korban dan tersangka.
"Proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi," kata Ketut dikutip dari PMJnews, Kamis (18/8/2022).
"Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar. Pertimbangan sosiologis. Masyarakat merespon positif," sambungnya.
Selain itu, tersangka yang belum pernah dihukum dan ancaman pidana yang tidak lebih dari lima tahun menjadi alasan. Juga dalam beberapa kasus, tersangka sudah membayarkan dana bantuan kepada korban.
"Tersangka belum pernah dihukum. Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana. Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun. Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya," ujarnya.
Ketut mengatakan ada satu perkara pencurian hewan ternak dengan tersangka atas nama I Andre Saputra bin Parman dan tersangka II Ario Agustian bin Hermansyah tidak dihentikan. Alasannya, bertentangan dengan nilai dasar sesuai peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020.
"Tidak dikabulkan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dikarenakan perbuatan atau tindak pidana yang telah dilakukan oleh para tersangka bertentangan dengan nilai-nilai dasar sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif," ujarnya.
Terhadap sembilan perkara yang dihentikan, selanjutnya JAM Pidum memerintahkan para kepala kejaksaan Negeri untuk untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan keadilan restoratif.
Berikut sembilan kasus yang dihentikan perkaranya berdasarkan restorative justice:
1. Tersangka A. Ahriadi bin Andi Pasangraging alias Andi Ato dari Kejaksaan Negeri Jeneponto yang disangka melanggar Pasal 80 ayat (1) Jo. Pasal 76c Undang-undang RI Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak atau pasal 170 ayat (1) KUHP tentang pengeroyokan.
2. Tersangka Syamsuddin alias Benda Bin Lataha dari Kejaksaan Negeri Sidenrengrappang yang disangka melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan.
3. Tersangka Muhammad Agus alias Agus bin Mahmud dari Kejaksaan Negeri Maros yang disangka melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang penadahan.
4. Tersangka Rohana binti Ahmad Rozali Manaf dari Kejaksaan Negeri Palembang yang disangka melanggar pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan.
5. Tersangka Muhammad Zaini alias Zen bin Subhan dari Kejaksaan Negeri Situbondo yang disangka melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian.
6. Tersangka I Ketut Edy Muliawan Putra dari Kejaksaan Negeri Klungkung yang disangka melanggar Primair Pasal 310 ayat (4) Undang-undang RI Nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan; subsidiair Pasal 310 ayat (3) Undang-undang RI Nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.
7. Tersangka Slamet Banu Ismujiwanto bin Sakidjan dari Kejaksaan Negeri Bantul yang disangka melanggar pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan.
8. Tersangka Sarial alias Iling bin Jamaludin dari Kejaksaan Negeri Bangka Barat yang disangka melanggar Primair Pasal 310 ayat (3) Undang-undang RI Nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan; subsidiair Pasal 311 ayat (4) Undang-undang RI Nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.
9. Tersangka Audy Pieter Tumomggor dari Kejaksaan Negeri Minahasa yang disangka melanggar pasal 44 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.(ppk)