- Dok. Film Pengkhianatan G30S PKI
Para Konspirator G30S PKI Galau Membaca Sikap Soeharto, Naluri Militer Kolonel Latief Ini Akhirnya Terbukti
Kolonel Latief, Komandan Brigade Infanteri Kodam V Jakarta Raya, salah satu tokoh kunci G30S PKI, diliputi kegalauan. Naluri militernya merisaukan kesiapan seluruh personel jelang pelaksanaan operasi militer G30S PKI.
Dalam rapat pada September 1965 di rumah Kepala Biro Khusus PKI, Sjam Kamaruzzaman, Latief menyatakan rasa kekhawatirannya. Ia merasakan banyak faktor yang belum matang pada jam-jam genting jelang penculikan para jenderal Angkatan Darat.
Latif mencemaskan jumlah 60.000 tentara di Ibu Kota Jakarta yang saat itu tidak mengetahui tentang G30S PKI. Sikap ribuan tentara itu akan sangat menentukan keberhasilan operasi yang mereka susun.
" Latief melihat kemungkinan reaksi mereka yang spontan karena kurang mendapat cukup informasi, atau muncul karena kekacauan yang melanda mereka pada siang harinya, merupakan faktor yang tak dapat diprediksi, yang bisa jadi memberi dampak sebaliknya bagi operasi penculikan pucuk pimpinan AD yang direncanakan." tulis Victor M. Fic dalam "KUDETA 1 OKTOBER 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi" terbitan Yayasan Obor Indonesia 2005.
Foto: Kolonel Abdul Latief saat menjalani sidang di pengadilan militer. (Dok. Perpustakaan Nasional)
Kekhawatiran sesungguhnya dari Kolonel Latief adalah bagaimana mereka membaca sikap dari Mayjen Suharto, komandan para pasukan yang disebut "tidak mengetahui" rencana pembersihan para atasan mereka di Angkatan Darat.
"Baik Latif, Suparjo, Untung maupun Sjam, dalam rapat jelang G30S PKI sama-sama galau membaca kemungkinan pasti sikap Pangkostrad Mayjen Soeharto. Memastikan sikap Suharto merupakan pekerjaan yang sangat sulit," ungkap Victor.
Suharto dalam pandagan para konspirator G30S PKI merupakan pendukung Presiden Soekarno yang sangat loyal dan bahkan paling penuh pengabdian.
Soeharto juga dihormati oleh sesama perwira di AD dan semua orang yang menjadi bawahannya, karena dia baik hati dan ramah, serta dianggap sebagai “pengayom” orang biasa terhadap perlakuan tegas tanpa kompromi birokrasi militer.
Membaca Sikap Pangkostrad Mayjen Soeharto
Galau membaca sikap Soeharto dalam G30S PKI, maka rapat para pimpinan G30S PKI tersebut diputuskan untuk mengutus Kolonel Latief menemui Suharto di rumahnya guna memastikan keikutsertaan Soeharto.
Berdasarkan pengakuan Latief, dia dan keluarganya mengunjungi Suharto di rumahnya di Jalan Agus Salim dua hari sebelum kejadian tanggal 1 Oktober 1965, mungkin 29 September 1965.
Kesaksian Latief sebagaimana yang ditulis Victor, selain berbincang-bincang mengenai masalah keluarga, Latif juga bermaksud menanyai Soeharto beberapa hal menyangkut informasi yang telah Ia terima tentang Dewan Jenderal, dan sekaligus melapor padanya segala yang telah Ia ketahui.
Foto: Mayjen Soeharto saat proses pemakaman 6 jenderal Angkatan Darat, 5 Oktober 1965 (Dok.Film Pengkhianatan G30S PKI)
"Dia (Soeharto) sendiri memberitahu saya demikian, sehari sebelumnya dia telah tahu dari bawahannya dari Jogja, namanya Subagyo, bahwa ada informasi tentang Dewan Jenderal dalam AD, yang telah berencana melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno dan pemerintahannya." ungkap Latif
"Soeharto berpendapat bahwa informasi itu harus diselidiki dulu. Namun karena begitu banyak tamu di ruangan itu maka kami pun beralih ke topik lain yang berkaitan dengan masalah rumah.” lanjutnya.
Latief tidak berhasil mengorek informasi apapun, terutama mengenai kepastian sikap Suharto menyangkut penculikan para koleganya di pucuk pimpinan Angkatan Darat.
"Latief merasa sangat terganggu oleh kegagalannya ini terutama ketika melaporkan hasilnya kepada Untung cs pada rapat berikutnya yang akan diselenggarakan di rumahnya sendiri pada tanggal 30 September 1965, pukul 6 sore," tulis Victor.
Foto: Cuplikan Film Pengkhianatan G30S PKI, suasana rapat pimpinan operasi militer PKI
Rapat yang dihadiri Sjam, Supardjo, Untung, Pono dan Latief itu menengarai bahwa mereka tidak boleh mengambil resiko apapun, bahwa ada bahaya besar Soeharto akan bertindak karena ketidaktahuannya yang justru bisa mengacaukan semua pekerjaan.
Latief mengusulkan Supardjo, Untung, dan Latief harus mengunjungi lagi Soeharto bersama-sama untuk memastikan partisipasinya, Namun Supardjo menampik usulan itu dengan dalih dia tidak begitu mengenal Suharto sehingga hanya Untung dan Latief lah yang harus menemui Soeharto karena relasi kekeluargaan mereka sangat erat dengan Suharto.
Tapi Untung juga menolak, dia tidak berani menghadapi Soeharto, begitu tulis Latief dalam bukunya, sehingga pada saat yang sama Latief mengatakan bahwa dirinya sendiri tidak gentar dan siap secara sukarela melakukan misi itu sendirian.
Latif Bertemu Soeharto pada 30 September 1965
Seperti yang telah diungkapkan dalam banyak kesaksian, Latif akhirnya menemui Soeharto di rumah sakit tentara di Jalan Gatot Subroto. Suharto dan isteri sedang menunggui putra bungsu mereka, Tommy yang dirawat akibat ketumpahan sup panas. Latif muncul di ruang perawatan Tommy pada pukul 22.00, 30 September 1965, beberapa jam jelang operasi G30S PKI.
Dalam catatan Victor, kedua orang itu berbicara selama sekitar satu jam, membuat Latief datang terlambat dalam rapat bersama para kolega di Pondok Gede untuk melaporkan hasilnya.
Suharto sendiri tetap berada di rumah sakit hingga tengah malam, sampai Ibu Tien menyuruh suaminya pulang karena putri mereka yang baru berusia satu tahun ditinggal sendirian hanya dengan seorang pembantu.
Foto: Jenderal AH Nasution,Presiden RI ke-1 Soekarno, dan Jenderal Soeharto (Istimewa)
Tidak ada catatan mengenai pertemuan Latief-Suharto itu, apa yang terjadi di antara dua kawan lama itu, dan hanya secuil informasi saja yang dapat diperoleh mengenai topik itu, yang datang dari tiga wawancara, dua dengan Suharto dan satu dengan Latief.
Dalam wawancara yang pertama dengan Arnold Brackman beberapa saat setelah gagalnya kudeta tahun 1965, Suharto mengatakan bahwa Latief datang menemuinya di rumah sakit bukan karena ikut prihatinan akan sakitnya Tommy melainkan untuk mencari tahu tentang dia.
Latief merasa perlu mengamati apakah Suharto menunjukkan tanda-tanda yang bisa menjadi indikasi kesiapannya untuk mengambil suatu tindakan guna menggagalkan kudeta G-30-S itu, atau apakah perhatiannya yang tercurah habis pada anak bungsunya membuat Suharto tidak punya waktu untuk melakukan hal tersebut.
Dalam wawancara kedua dengan Der Spigel pada bulan Juni 1970, ketika ditanya mengapa namanya tidak tercantum dalam daftar nama jenderal yang akan diculik, Suharto mengatakan bahwa Latief datang menemuinya di rumah sakit di malam
penentuan itu untuk membunuhnya, namun urung melakukannya karena melihat banyak orang yang hadir di situ.
"Dan dari Latief kita hanya mendapat referensi yang tidak jelas mengenai pertemuan itu dalam wawancara pertama pada tanggal 24 Mei 1998, dimana dia mengatakan bahwa dia telah mengunjungi Suharto tiga kali untuk membicarakan masalah itu pada bulan September 1965, dan bahwa hanya pada pertemuan terakhir pada 30 September itulah keadaan memungkinkanya mengatakan pada Suharto apa yang akan terjadi keesokan paginya, 1 Oktober 1965." Ungkap Victor dalam bukunya.
Hubungan Soeharto Dengan Para Konspirator G30S PKI
Kolonel Latief sendiri sangat mengenal Soeharto. Sejak dia berada di Jawa Tengah dan kemudian selama operasi pembebasan Irian Barat, ketika dia menjadi staf Soeharto sebagai agen intelijen. Mereka menjadi sahabat dekat, begitu pula para isteri mereka, saling mengunjungi dan sering mengikuti acara-acara keluarga masing-masing pihak.
Tak hanya Kolonel Latif, bisa dikatakan semua konspirator G30S PKI yang berlatar belakang militer punya hubungan pribadi yang hangat dan dekat dengan Soeharto dan keluarganya, beberapa di antaranya selalu terkenang pada masa muda ketika sama-sama bertugas di Yogyakarta dalam perjuangan merebut kemerdekaan.
"Meski bukan simpatisan PKI, secara pribadi Suharto kenal dekat dengan para pemimpin G30S PKI sejak dia melakukan negosiasi dengan Musso, Wikana, dan lain-lainnya dalam rangka menumpas pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 atas nama pemerintahan Presiden Soekarno." tulis Victor M Fic.
Sjam Kamaruzzaman paling lama mengenal Soeharto, tepatnya sejak tahun 1950-an. Pada waktu itu Syam adalah anggota partai sosialis Sutan Sjahrir, PSI, dan berada dalam pengaruh paman Sjahrir, Djohan Sjahroezah, dan sekitar periode yang sama dia juga berhubungan dengan Letkol Suharto, yang di tahun
1965 menjadi Pangkostrad berpangkat Mayjen, dan sering menginap di rumahnya di Jogja.
Foto: Sjam Kamaruzaman (Dok.Salim Said - Dari Gestapu ke Reformasi)
Demikian pula Untung, mengenal Soeharto sejak operasi pembebasan Irian Barat, dimana Untung mendapat medali militer untuk keberaniannya dalam operasi saat menjadi anak buah jenderal itu di markas besarnya di Sulawesi sebagai Panglima Komando Mandala.
Pada bulan Februari 1965 Untung dipindah dari Divisi Diponegoro di Jateng ke Jakarta untuk memimpin batalyon Pengawal Presiden, atas rekomendasi Soeharto sendiri, dan menduduki pos itu pada musin semi 1965.
"Kedekatan hubungan dua orang itu mendapat bukti paling akurat dari fakta bahwa pada akhir bulan April 1964, Soeharto pergi meninggalkan Jakarta menuju Kebumen di Jawa Tengah, untuk menghadiri resepsi pernikahan Untung," ungkap Victor.
Foto: Brigjen Suparjo (Kiri) dan Letkol Untung (Kanan) - (Dok.Wikipedia)
Supardjo pun kenal baik dengan Suharto karena dia menjadi bawahannya selama konfrontasi dengan Malaysia, ketika Suharto mengunjungi yang bersangkutan di markas besarnya di Pontianak, Kalimantan Barat menjelang tanggal 17 Agustus 1965 untuk mengkoordinasikan aksi militer melawan Malaysia di Sarawak.(Buz)
Ikuti terus perkembangan berita terbaru lainnya melalui channel YouTube tvOneNews: