- Istimewa
Anggota DPR RI Mendesak Pemerintah Menjelaskan Perundingan Batas Zona Ekonomi Ekslusif dengan Vietnam
Jakarta - Perundingan mengenai penetapan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) antara Indonesia dan Vietnam telah berlangsung cukup lama. Pertermuan pertama kali diadakan pada 21 Mei 2010. Hingga kini pertemuan yang sudah dilakukan belasan kali tersebut kini mulai mencapai titik terang.
Diketahui bahwa Tim Teknis Indonesia dan Vietnam telah melakukan perundingan ke-14 pada pertengahan Juli 2022. Pihak Indonesia dikabarkan siap untuk membuat konsesi untuk mempermudah proses negosiasi.
Hal ini membuat Anggota DPR RI dari Fraksi NasDem, Syarif Abdullah Alkadrie, terkejut dan marah karena tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik maritim dengan Vietnam.
“Ini masalah kedaulatan, hal yang tidak bisa ditawar-tawar, sehingga kewajiban DPR RI untuk terlibat, karena merupakan perwakilan rakyat,” dikatakan Syarif Abdulllah Alkadrie pada Senin, 20 September 2022.
Syarif Abdulllah Alkadrie memperingatkan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia untuk memberikan penjelasan kepada Komisi I DPR RI dan publik.
Sementara, proses perundingan antar dua negara ini dianggap tidak transparan oleh sebagian pihak. Hal ini dikarenakan hasil perundingan seakan tidak diupdate ke publik.
Menurut anggota Komisi I DPR, Sukamta, isu sepenting ini mestinya dilakukan secara transparan dan ada proses komunikasi kepada publik.
"Posisi klaim Indonesia di wilayah yang disengketakan di Laut Natuna Utara ini sudah kuat secara hukum internasional, saya berharap pemerintah jangan berikan konsensi kepada Vietnam yang merugikan nelayan dan kedaulatan Indonesia," ujar Sukamta.
Menurut Syarif Abdulllah Alkadrie, penetapan batas ZEE ini akan berdampak pada dua sisi yaitu segi kedaulatan dan segi ekonomi.
Pertama dari segi kedaulatan perlu diketahui bahwa penetapan batas wilayah negara merupakan isu yang sensitif, karena menyangkut hajat orang banyak dan juga agar sebuah negara bisa mengetahui apakah wilayah tersebut berada di wilayah kekuasaan mereka atau tidak sehingga bisa diimplementasikan hukum yang sesuai dengan konstitusi negara yang bersangkutan.
Lalu dari segi ekonomi. Indonesia sebagai negara maritim yang kaya sumber daya laut tentu sangat bergantung pada sektor kelautan dan perikanan, untuk mengisi kas negara dan juga demi kestabilan ekonomi. Bahkan dari segi individual sekalipun, menurut Syarif Alqadie, akan ada banyak nelayan yang terdampak apabila konsesi ini menjadi persetujuan bersama.
Dalam perundingan kubu nelayan akan menjadi kelompok yang paling dirugikan. Pernyataan itu disampaikan organisasi nelayan tradisional Serikat Nelayan Indonesia (SNI).
“Ini berarti Indonesia kehilangan wilayah, hak berdaulat kita dirugikan, daerah penangkapan ikan diperkecil sehingga sumber daya perikanan dikurangi, kehidupan nelayan kita akan lebih sulit,” ujar Sekjen SNI, Budi Laksana.
Hal ini dikarenakan wilayah di mana nelayan dapat memancing, akan berkurang secara signifikan dan secara efektif akan mengurangi pendapatan mereka juga.
Probabilitas akan mandegnya ekonomi di sektor perikanan ini perlu dievaluasi lagi oleh pihak Indonesia, agar jangan sampai negara kita yang justru dirugikan.
“Jadi pentingnya ada evaluasi ulang oleh pemerintah agar negara dan rakyat kita tidak dirugikan,” tutup Anggota DPR RI dari Fraksi NasDem ini.
Padahal, sebagai masyarakat yang hidup di negara demokrasi sudah seharusnya kita diberi informasi yang tepat dan akurat mengenai kegiatan pemerintah kita. Transparansi ini juga penting utamanya bagi aktor yang paling terdampak seperti nelayan agar bisa menuntut hak mereka dengan jelas.(chm)