- Istimewa
KDRT Bukan Untuk Main-Main, Komnas Perempuan Menilai Proses Hukum Prank Baim Wong dan Paula Verhoeven Perlu Dilanjutkan
Dinilai bukannya prihatin dengan kasus yang dialami Lesty Kejora oleh sejumlah publik, Baim Wong dan Paula Verhoeven justru membuat sebuah video prank terkait KDRT kepada pihak kepolisian.
Akibat ulahnya tersebut, pasangan rumah tangga Baim Wong dan Paula Verhoeven yang kerap dianggap selalu membuat sensasi itu mendapat banyak kritikan keras serta cibiran dari sejumlah rekan selebriti maupun warganet di dunia jagat maya.
Baim Wong dan Istri, Paula Verhoeven. (Ist)
Tidak hanya warganet yang memanas melihat aksinya, beberapa sederet selebriti pun turut memberikan tanggapan dengan adanya konten baru yang dibuat Baim Wong dan Paula.
Komnas Perempuan Dukung Menindak Lanjuti Kasus KDRT Palsu
Anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Bahrul Fuad mengatakan proses hukum terkait lelucon atau prank isu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan dua selebritas Indonesia, perlu dilanjutkan guna memberikan pembelajaran bagi masyarakat.
"(Ini) juga untuk melakukan edukasi pada masyarakat bahwa KDRT adalah hal yang serius tidak bisa dibuat main-main," ujar Bahrul Fuad pada Selasa (4/10/2022).
Menurut Bahrul, lelucon KDRT merupakan sebuah tindakan serius yang dapat diancam pidana hingga satu tahun empat bulan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 220 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 220 KUHP menyebutkan "Barangsiapa memberitahukan atau mengadukan bahwa telah dilakukan suatu perbuatan pidana, padahal mengetahui bahwa itu tidak dilakukan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan".
KDRT sendiri, sambung dia, termasuk isu serius dan berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan 2022, KDRT menjadi bentuk kekerasan terhadap perempuan yang tertinggi. Menurut Bahrul, sebagian besar korban tidak berani mengadu.
Oleh karena itu, dia berpendapat membuat lelucon terkait hal ini tak bijak dan tidak memberikan edukasi pada masyarakat. Menurut dia, dampak buruk terhadap korban KDRT yakni tidak mendapatkan empati dari para pembuat konten. Padahal, korban KDRT mengalami dampak psikologis yang sangat dalam.
"Maka tidak etis jika KDRT ini hanya dijadikan konten prank atau guyonan. Korban KDRT butuh pendampingan dan butuh dukungan dari masyarakat," tutur Bahrul.
Dia menambahkan, Komnas Perempuan akan memproses semua pengaduan KDRT sesuai dengan prosedur internal dan selanjutnya kasus akan dirujuk ke lembaga layanan tempat korban berdomisili untuk mendapatkan pendampingan sesuai dengan kebutuhan korban.