- tim tvone/tim tvone
Terkuak, 6 Penyebab Kecelakaan Sriwijaya Air SJ182, KNKT Beberkan Data di DPR RI
Jakarta - Terkuak, penyebab kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ182 di perairan Kepulauan Seribu pada 9 Januari 2021, tahun lalu. Hal itu dibeberkan Ketua Sub-Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT, Nurcahyo Utomo dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi V DPR RI.
Disebutkan Nurcahyo Utomo, ada enam (6) penyebab kecelakaan Sriwijaya Air SJ182 dari hasil invesitigasi KNKT. Namun, ia katakan, kesimpulan enam penyebab tersebut berdasarkan hal yang terjadi lebih dahulu.
"Jadi, dari investigasi kami KNKT, menyimpulkan bahwa, pertama, tahapan perbaikan sistem auto-throttle belum mencapai bagian mekanikal," kata Nurcahyo seperti yang dilansir dari kanal YouTube Komisi V, DPR RI, Kamis (3/11/2022).
Sementara, yang kedua, karena thrust lever kanan tidak mundur seusai permintaan autopilot, sebab hambatan pada sistem mekanikal dan thrust lever kiri mengkompensasi dengan terus bergerak mundur sehingga terjadi asimetri," sambung Nurcahyo menjelaskan.
Ketua Sub-Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT, Nurcahyo Utomo
Lanjutnya mengungkapkan, untuk yang ketiga, adanya keterlambatan Cruise Thrust Split Monitor (CSTM) memutus auto-throttle pada saat pesawat terjadi asimetri menjadi penyebab kecelakaan tak bisa dihindari.
"Jadi, flight spoiler memberikan nilai yang lebih rendah berakibat pada asimetri yang semakin besar. Setelah terjadi asimetri, harusnya CTSM bisa menonaktifkan auto-throttle," katanya.
"Namun, terjadi keterlambatan CTSM pada auto-throttle sehingga asimetri menjadi terlebih dan pesawat menjadi belok ke kiri. Terlebih keterlambatan CTSM ini kami yakini karena informasi sudut dari flight spoiler lebih rendah dari yang sesungguhnya sehingga aktivasinya terlambat," sambungnya mengungkapkan.
Kemudian, Nurcahyo ungkapkan, adanya complacency atau rasa percaya terhadap sistem automatisasi dan confirmation bias yang berujung berkurangnya monitor oleh pilot terhadap instrumen di pesawat.
"Berikutnya, adanya complacency terhadap kepada sistem automatisasi dan confirmation bias adanya informasi yang mendukung opini, telah berakibat dikuranginya monitor pada instrumen sehingga tidak disadari terjadi asimetri dan terjadi penyimpangan penerbangan," ujarnya.
Foto Analisi dari KNKT
Lanjutnya menuturkan, keadaan pesawat menjadi berbelok ke kiri, yang seharusnya ke kanan. Sementara, ia katakan, kemudi miring ke arah kanan, hal itu lantaran kurangnya monitor menimbulkan asumsi, bahwa pesawat belok ke kanan sehingga tindakan pemulihannya tidak sesuai.
Kemudian, yang terakhir, Cahyo sebutkan, kecelakaan itu tak terlepas dari belum adanya aturan panduan mengenai upset prevention and recovery training (UPRT) yang mempengaruhi proses pelatihan oleh maskapai terhadap pilot.
"Nah, kesimpulan terakhir karena belum adanya aturan panduan tentang upset prevention and recovery training (UPRT). Hal ini berpengaruh terhadap proses pelatihan yang diberikan oleh maskapai untuk dapat menjamin kemampuan dan pengetahuan pilot dalam mencegah dan memulihkan kondisi upset," ungkapnya.
Kemudian, dijelaskannya, kondisi upset adalah kondisi di mana pesawat mengalami posisi yang tidak diinginkan, menukak terlalu tinggi, menukik terlalu tajam atau berbelok terlalu besar.
"Untuk pemulihan ini tidak bisa dilakukan secara efektif dan tepat waktu," pungkasnya.
Tak hanya itu saja, Nurcahyo juga menyampaikan rekomendasi dari KNKT terhadap PT Sriwijaya Air atas insiden kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ182.
Ilustrasi Tragedi Sriwijaya Air SJ182
Sebelumnya diberitakan tim tvonenews.com, Ketua Sub-Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo membeberkan hasil investigasi kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182.
Pesawat itu jatuh di perairan Kepulauan Seribu pada 9 Januari 2021. Ia jelaskan dari cockpit voice recorder (CVR) yang ditemukan, KNKT tidak menemukan rekaman suara kapten atau pilot.
Nurcahyo menduga pilot itu tidak menggunakan headset sehingga suaranya tidak terekam.
"Ada mikrofon di dalam kokpit yang kami harapkan bisa merekam suara apapun di dalam kokpit. Namun, pada channel ini tertutup suara noise atau bising pada 400 hertz, sehingga pembicaraan tidak bisa direkam," jelas dia saat rapat bersama Komisi V DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (3/11/2022).
Ia menjelaskan, investigator KNKT tidak bisa menganalisa CVR terkait kerja sama di kokpit. Namun, pihaknya mendengar suara co-pilot dan pengatur lalu lintas udara.
"Adanya perubahan di kokpit ini tidak disadari oleh pilotnya. Kami asumsi bahwa pilotnya percaya kepada sistem otomatisasi di dalam pesawat," lanjut Nurcahyo. "Sehingga kondisi ini telah berdampak pada monitor terhadap instrumen dan kondisi yang terjadi," pungkasnya. (saa/ebs/aag)