- Tim tvOnenews/Muhammad Bagas
BPA Dianggap Berbahaya untuk Kesehatan, Ahli Polimer: Pemikiran yang Salah dan Primitif
Jakarta - Air minum adalah kebutuhan dasar manusia. Sayangnya akses terhadap air minum yang sehat masih menjadi tantangan.
UNICEF menyatakan hampir 70 persen dari 20.000 sumber air minum rumah tangga yang diuji di Indonesia tercemar limbah tinja dan menyebabkan penyebaran penyakit diare yang menjadi penyebab utama kematian balita.
Kementerian Kesehatan Indonesia melalui Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) yang dilakukan pada tahun 2020 menyatakan bahwa 7 dari 10 rumah tangga Indonesia mengonsumsi air yang terkontaminasi e-coli.
Sulitnya akses air bersih layak konsumsi mendorong masyarakat Indonesia mengonsumsi air isi ulang.
Hal ini sejalan dengan hasil studi SKMART yang menyatakan 31 persen rumah tangga Indonesia mengonsumsi air isi ulang.
Data Asosiasi Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) 2020 mencatat sekitar 29 miliar liter air dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
Namun baru-baru ini beredar narasi buruk tentang risiko kesehatan pada kemasan galon guna ulang bahan polikarbonat yang mengandung BPA.
Untuk menjawab narasi buruk tersebut, Forum Ngobras mengadakan diskusi dengan mengundang narasumber yang ahli dibidangnya.
Ahli Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D, pada kesempatan yang sama mengkritik narasi yang dibangun tersebut.
Ia menyampaikan kebijakan ini cenderung diskriminatif.
“Jadi kalau sekarang isunya BPA berbahaya atau berisiko untuk kesehatan, jangan hanya mendengar namanya lalu percaya kalau itu berbahaya."
"Terkait bahaya, harus melihat empat faktor. Jangan hanya menyebut nama zat tertentu lalu dikategorikan tidak boleh. Itu pemikiran yang salah dan terlalu primitif.
Harus disebutkan tiga faktor lainnya yakni, konsentrasi, populasi, dan lama kontak. Baru bisa ditetapkan sebagai tanda bahaya.” ujar Zainal Kamis (17/11/2022).
Ia juga mengatakan bahwa regulator perlu mengambil keputusan berdasarkan fakta-fakta ilmiah.
“Jangan mengambil kebijakan berdasarkan isu yang belum terbukti secara ilmiah. Kita perlu menjadi negara yang betul-betul teredukasi,” lanjutnya.
Diketahui kemasan galon guna ulang berbahan polikarbonat diketahui sudah digunakan lebih dari 38 tahun di Indonesia.
Sampai hari ini, para ahli seperti Ir. Akhmad Zainal dan Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS., sepakat belum pernah mendengar ada orang yang meninggal atau sakit akibat keracunan air minum dari galon polikarbonat.
“Polikarbonat itu adalah plastik yang aman, dan terkategori sebagai food grade. BPA sendiri sudah lolos dari uji 34 macam bahan yang dikategorikan berbahaya untuk makanan,” terang Ir. Akhmad Zainal.
Tanpa adanya urgensi dan kecenderungan diskriminatif terhadap salah satu kemasan air minum, membuat para ahli seperti Prof. Sulaeman menyimpulkan, kebijakan pelabelan BPA pada galon belum perlu.
“Rasanya masih terlalu dini, tidak perlu buru-buru. Belum ada data untuk mendukung hal tersebut,” ujar Prof. Sulaeman.
Salah kaprah lain terkait kebijakan ini adalah kekeliruan rencana melabeli kemasan galon plastik sekali dengan label bebas BPA.
“Karena memang bahan baku kemasan galon sekali pakai PET bukan BPA. Jadi yang perlu ditulis pada kemasan itu adalah mengandung Etilen Glikol, karena bahan baku PET itu Etilen Glikol, juga ada tambahan zat lainnya yakni, antimon."
"Sebenarnya ada kebijakan pemerintah yang melarang penggunaan plastik sekali pakai. Tapi kemudian tiba-tiba mendorong penggunaan galon sekali pakai. Itu kan tidak rasional,” pungkas Ir. Akhmad Zainal. (ree)