- Istimewa
Kisah Sukses Ilmuwan Penerima Matching Fund 2022, Pemilik Paten Teknologi Broadband
Jakarta - Sinergi pentahelix merupakan kunci membangun ekosistem reka cipta untuk kemajuan bangsa Indonesia yang berkualitas.
Melalui platform Kedaireka, reka cipta hadir dalam bentuk sinergitas antara berbagai sektor seperti perguruan tinggi, dunia industri, pemerintah, masyarakat, dan media.
Penerima manfaat Matching Fund 2022, Dr. Eng. Khoirul Anwar, S.T., M. Eng., dari Universitas Telkom membagikan pengalaman juga manfaat yang dirasakannya dalam melakukan kolaborasi dan sinergi pentahelix selama proses seleksi Matching Fund 2022 Kedaireka.
Lahir di Kediri pada 44 tahun silam, Khoirul Anwar adalah seorang ilmuwan Indonesia yang dikenal sebagai pemilik paten teknologi broadband yang menjadi standar pada International Telecommunication Union (ITU) baik untuk sistem terestrial (di bumi) maupun satelit (di luar angkasa).
Pada Matching Fund 2022 kali ini, Khoirul beserta tim risetnya dari Universitas Telkom mendapatkan manfaat untuk proyek 5G Merdeka II.
Khoirul berpendapat bahwa ia merasakan betul manfaat dari program Matching Fund Kedaireka karena program tersebut telah berhasil menciptakan kolaborasi yang selama ini sulit diwujudkan.
“Kedaireka menjadi jembatan antara industri dan ilmuwan atau akademisi yang ada di perguruan tinggi, sehingga inovasi-inovasi yang diciptakan di perguruan tinggi bisa masuk ke dunia industri yang menjadikan ilmuwan, akademisi, industri, dan pemerintah bahagia. Dengan adanya Kedaireka, link yang tadinya tidak ada, kini menjadi ada,” ujarnya.
Selain itu dengan adanya program Matching Fund, insan perguruan tinggi juga lebih bergairah untuk mengembangkan risetnya lebih lanjut sehingga dapat berpeluang bermitra dengan industri.
Ia pun mengaku timnya kini jauh lebih memiliki semangat dan lebih fokus pada target pencapaian reka cipta yang sedang dijalankan.
“Di negara industri maju seperti Jepang, di mana pihak industri mengandalkan perguruan tinggi untuk riset dan pengembangan, para peneliti dapat fokus seratus persen pada riset fundamental sementara biaya produksi ditanggung oleh industri. Di Indonesia proporsinya berbeda dengan 80 persen riset fundamental dan 20 persen produk. Jadi, kehadiran Matching Fund ini sangatlah membantu kami untuk mewujudkan 20 persennya itu," imbuhnya.
Berbekal pengalaman kurang lebih selama delapan tahun mengenyam pendidikan magister dan doktoral di Jepang, Khoirul juga membagikan pengalaman ekosistem inovasi di negara industri maju seperti Jepang, dan bagaimana Indonesia bisa mulai mencontoh dan menerapkannya.
“Budaya dan ekosistem riset sangat maju di Jepang. Hubungan antara perguruan tinggi dan industri di sana amatlah erat. Jika industri sedang butuh suatu inovasi, mereka pasti “larinya” ke perguruan tinggi. Hal yang membuat saya takjub adalah industri di sana dapat dengan cepat dan tepat membuat produk perwujudan dari teori dan desain ilmuwan," tuturnya.
Ekosistem inovasi tersebut menurutnya dapat terjadi karena ada dorongan juga dari pemerintah.
Salah satu contohnya adalah kebijakan yang mewajibkan industri untuk menggandeng perguruan tinggi dalam menggarap proyek pemerintah.
“Di Jepang, industri harus mengajak perguruan tinggi untuk mengerjakan proyek-proyek pemerintah. Di dunia pendidikannya sendiri juga diterapkan sistem nilai di mana seorang ilmuwan mendapat nilai tinggi apabila telah mengerjakan proyek pemerintah dan swasta," ungkapnya.
Dengan dorongan dari pemerintah tersebut, kini Jepang dapat dengan otomatis menciptakan budaya sinergi antara universitas dan industri.
“Jadi sekarang itu di Jepang, ada proyek pemerintah atau tidak, pihak industri secara berkala tetap datang ke universitas," terangnya.
Beda di Jepang, beda pula di Indonesia. Menurut Khoirul, tingkat kepercayaan pihak industri di Indonesia kepada universitas masih harus terus diperkuat.
Caranya dengan ilmuwan Indonesia harus lebih proaktif melakukan pendekatan ke industri.
“Ini yang saya coba wujudkan juga di Indonesia. Salah satu budaya yang kini berusaha saya terapkan adalah mewajibkan tim saya untuk setiap dua sampai tiga bulan sekali mendatangi industri untuk melakukan presentasi riset. Manfaatnya adalah selain untuk menciptakan peluang, tetapi juga untuk mengasah kemampuan kami para ilmuwan untuk dapat menjual ide atau gagasan kami sehingga lebih berpeluang diterima oleh industri," jelasnya.