- Langgeng Puji/tvOnenews.com
Kasus Kartel Minyak Goreng, Grup Wilmar Duga KPPU Abaikan Kebijakan Pemerintah
Jakarta, tvOnenews.com - Grup Wilmar menduga KPPU mengabaikan kebijakan pemerintah terkait kasus kartel minyak goreng yang tengah memasuki babak persidangan.
Kuasa hukum Grup Wilmar, Rikrik Rizkiyana mengatakan krisis minyak goreng tersebut merupakan dipicu kenaikan harga crude palm oil (CPO).
Adapun kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng yang terjadi pada akhir 2021 hingga pertengahan 2022.
Menurutnya, para terlapor sebanyak 27 perusahaan, termasuk Grup Wilmar dituduh melanggar dua hal, yaitu membuat kesepakatan penetapan harga minyak goreng kemasan periode Oktober-Desember 2021 dan periode Maret-Mei 2022.
Lalu, terlapor diduha melanggar soal membatasi peredaran atau penjualan minyak goreng kemasan pada periode Januari-Mei 2022.
"Namun, berdasarkan bukti dan fakta persidangan yang berjalan sejauh ini, tuduhan tersebut tidak terbukti,” ujar Rikrik di Jakarta Selatan, Minggu (15/1/2023).
Menurut Rikrik, kenaikan harga minyak goreng yang terjadi dipicu harga CPO di pasar global yang mencapai 80 hingga 85 persen dari biaya produksi.
Dia mengatakan dengan kondisi tersebut, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) menerbitkan belasan peraturan dalam waktu singkat.
Peraturan itu terkait penetapan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan, peraturan domestic market obligation (DMO), dan domestic pride obligation (DPO).
"Minyak goreng yang sebelumnya diperdagangkan secara bebas melalui mekanisme pasar, berubah menjadi pasar yang diregulasi pemerintah. Dengan demikian, hukum persaingan sudah tidak lagi relevan karena persaingan yang terjadi diatur oleh pemerintah melalui instrumen kebijakan persaingan," jelasnya.
Rikrik melanjutkan kebijakan pemerintah yang berubah-ubah tersebut ternyata tidak dapat menyelesaikan permasalahan kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng.
Sebaliknya, dia menuturkan intervensi yang dilakukan pemerintah justru menimbulkan ketidakpastian di pasar domestik dan memperparah kondisi di masyarakat.
"Dalam perkara ini, KPPU telah mengabaikan peran kebijakan pemerintah yang menjadi akar permasalahan dan hanya menuduh kepada produsen yang tunduk pada kebijakan pemerintah sebagai penyebab kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng," imbuhnya.
Sementara itu, kuasa hukum dari AHP lainnya, Farid Nasution menambahkan kartel adalah tindakan bersama antara pelaku usaha tertentu menyepakati keputusan strategis di pasar.
Dalam perkara minyak goreng ini, KPPU menduga penetapan harga dilakukan 27 perusahaan dari 13 kelompok usaha yang berbeda.
Dengan demikian, banyaknya jumlah terlapor dalam dugaan kartel penetapan harga menjadi sangat sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan.
"Hal ini diperkuat dengan keterangan para saksi yang sudah dihadirkan di persidangan baik oleh Investigator maupun Terlapor yang mengaku tidak mengetahui adanya koordinasi antara pengusaha untuk menaikkan harga jual," ujar Farid.
Farid menambahkan Investigator KPPU tidak dapat membuktikan bahwa pembatasan peredaran minyak goreng dilakukan oleh produsen.
Sebab, produsen minyak goreng tidak punya kendali atas rantai distribusi minyak goreng yang begitu panjang, mulai dari produsen, distributor, sub distributor, agen, pedagang grosir, supermarket/swalayan, pedagang eceran, sampai dengan konsumen akhir.
"Berdasarkan keterangan saksi-saksi di persidangan, kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng bukan karena masalah produksi, tetapi karena kenaikan harga CPO, penerapan HET dan kendala distribusi. Tidak ada saksi yang mengatakan kelangkaan karena produsen menahan pasokan," imbuhnya.(lpk/muu)