- Project M/Muhammad Nauval Firdaus - di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2.0
Sempat Alami Serangan Siber, Ini Isi Lengkap Laporan Pemerkosaan Anak di Luwu Timur
Pratiwi menyebut proses penyelidikan Polres Luwu Timur sudah “cacat prosedur” sejak visum pertama hingga pengambilan keterangan setiap anak.
Seharusnya, anak-anak didampingi oleh orang tua serta pendamping hukum, pekerja sosial atau pendamping lain sebagaimana mandat dalam UU 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, ujarnya.
“Jadi kepolisian resort Luwu Timur sangat tidak profesional,” katanya.
“Kepolisian malah fokus kepada ibu [Lydia] yang disebut punya motif lain. Ibu korban justru diperiksa psikiater yang prosedurnya tidak layak. Keterangan terhadap anak tidak didalami dan tidak dilakukan pemeriksaan saksi lain untuk menemukan petunjuk-petunjuk baru. Misalnya, keterangan tetangga atau orang yang mengenal mereka,” kata Pratiwi.
Polda Sulsel Mendukung Penyelidikan Dihentikan
Pada 26 Desember 2019, LBH Makassar bersama Lydia mendatangi Polda Sulawesi Selatan dan meminta gelar perkara khusus atas penghentian penyelidikan di Polres Luwu Timur. Dalam surat itu dilampirkan foto-foto luka pada anus dan vagina ketiga anak.
Selanjutnya, pada 10 dan 13 Februari 2020, tim hukum melayangkan surat untuk gelar perkara, tapi tak ada jawaban. Pada 19 Februari, Kabid Humas Polda Sulawesi Selatan Kombes Pol Ibrahim Tompo malah menyampaikan ke media kalau mereka telah “melaksanakan gelar perkara internal” dan penghentian penyelidikan disebutnya sudah sah dan sesuai prosedur.
Kemudian, pada 5 Maret, tim Polda Sulawesi Selatan mengabarkan ke LBH Makassar jika gelar perkara khusus akan dilakukan pada 6 Maret, pukul 13.00, di kantor Polda.
Kabar serba mendadak itu membuat penasihat hukum serba tidak siap.
“Waktunya sangat singkat untuk persiapan,” kata Rezky Pratiwi dari LBH Makassar. “Psikolog anak yang mendampingi korban sejak awal tidak dapat hadir karena benturan kegiatan.”
Pada 14 April, hasil gelar perkara itu menyebut Polda Sulsel merekomendasi Polres Luwu Timur untuk tetap menghentikan proses penyelidikan atas laporan pencabulan tersebut.
Mendesak Mabes Polri Melanjutkan Penyelidikan
Di lantai dua kantor Polres Luwu Timur, dihubungkan sebuah tangga, ada satu ruangan tempat kerja Aipda Kasman, penyidik yang menangani kasus anak-anak Lydia. Kasman membanggakan pekerjaannya, “Kami sudah lakukan visum sampai forensik. Sampai ada hasil psikiater ibunya.”
“Apakah saya bisa baca salinan itu?” tanya saya.
“Saya tidak bisa menyampaikan itu karena itu yang kami pegang,” dia menyeringai.
Apa yang disebut hasil psikiater dari RS Bhayangkara Makassar yang dirahasiakan itu rupanya dianggap “kebenaran” oleh banyak orang di Luwu Timur. Bahwa ibunya yang “gila”, bukan kasus dugaan pemerkosaan yang dibicarakan dan diingat oleh orang-orang. “Kami tahu kasus itu, tapi itu, kan, ibunya yang gila,” ujar seorang warga kepada saya. “Makanya kasusnya tidak lanjut.”
Dalam sesi wawancara dengan Kasman, penyidik ini seketika duduk gelisah ketika saya menyodorkan rekaman. Ia mau berbicara lebih terbuka setelah diizinkan oleh atasannya, Kasat Reskrim Luwu Timur, Iptu Eli Kendek.
“Kalau dinyatakan kami maladministrasi atau cacat administrasi, itu persepsi LBH Makassar. Tapi kami tetap memegang prinsip profesional. Kami melakukan tindakan sesuai aturan, sesuai hukum,” ia memulai alasan.
“Kami juga sudah klarifikasi ke semua lembaga yang disurati LBH Makassar,” klaimnya.
LBH Makassar telah mengirim surat aduan ke sejumlah lembaga pada Juli 2020, di antaranya ke Kompolnas, Ombudsman, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulsel, Bupati Luwu, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri, dan Komnas Perempuan.
Ke lembaga-lembaga itulah, klaim Kasman, Polres Luwu Timur telah mengklarifikasi dan “semua aman saja.”
Komnas Perempuan, dalam surat rekomendasi yang dikirim ke Mabes Polri, Polda Sulsel, dan Polres Luwu Timur, bertanggal 22 September 2020, justru meminta melanjutkan kembali proses penyelidikan kasus pidana tersebut.
Proses itu, tulis Komnas Perempuan, di antaranya “harus melibatkan secara penuh orang tua, kuasa hukum, serta pendamping sosial korban, menyediakan fasilitas rumah aman, konseling, dan fasilitas khusus lain bagi perempuan.” Berikutnya, “Kepolisian perlu berkoordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Makassar demi memfasilitasi kebutuhan khusus tersebut.”
Rekomendasi inilah justru yang tidak dilakukan oleh Polres Luwu Timur saat menangani pengaduan kasus pencabulan terhadap ketiga anak Lydia.