- Istimewa
Rahmat Shah dan Kebersamaan Bangsa yang Susah
tvOnenews.com - Energi Dr Rahmat Shah, kini 73 tahun, seperti tidak pernah redup saat berbicara tentang bangsa ini. Pengusaha nasional, filantropis, konservasionis, dan juga Konsul Jenderal Kehormatan Turki untuk Sumatera ini, telah menerbitkan tiga buku tebal tentang perjuangan, pengabdian, dan pemikirannya. Tiga buku ini bagai sungai berair yang mengalir dan menyuburkan.
Mengenakan baju kaos model polo shirt biru dongker, Pak Rahmat mengajak saya berbincang di dalam rumahnya di kawasan Selayang, Medan. Saya memilih di halaman rumahnya yang luas dan asri, ditemani stafnya, Laila Isnaini, yang mengenakan hijab. Di halaman, ada pohon, taman, kursi, dan meja panjang, yang di atasnya ada beberapa buku, dua piring pepaya, dan semangka potong. Kami berbincang bebas, seperti angin yang bertiup bebas.
Pada buku-buku, yang diberikan kepada saya, ada testimoni tokoh-tokoh besar, di antaranya Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoptri, Try Sutrisno, Jusuf Kalla, Sudomo, Jenderal (Purn) Widjojo Soejono, AM Hendropriyono, Luhut Panjaitan, Gatot Nurmantyo, Awaloedin Djamin, Badrodin Haiti, dan Ginandjar Kartasasmita. Juga ada Mahatir Mohammad.
Nama-nama besar tersebut menjelaskan tingkat dan keluasan pergaulan Pak Rahmat, melintasi berbagai pandangan politik. Ia seakan ingin memberi kesan bahwa jalinan hubungan tidak dibatasi oleh latar belakang seseorang, melainkan hubungan antarmanusia. Inilah yang menjadikannya tokoh yang dapat diterima semua pihak.
Rahmat dilahirkan pada 23 Oktober 1950 di desa kecil di pinggir Sungai Bahbolon, Perdagangan Seberang, sekitar 120 km dari kota Medan. Kedua orang tuanya (H. Hafiz Gulrang Shah dan Hj Syarifah Sobat) hidup sederhana. Ibunya mengandung selama 12 bulan. Sukses sebagai pengusaha tidak diperolehnya dari warisan, tapi melalui perjuangan dari bawah, fokus, dan kerja keras.
“Sayangi, hormati, dan bahagiakan orangtua, karena jasa orangtua tidak bisa tergantikan selamanya,” ujar Pak Rahmat. Menyayangi orangtua salah satu kiat suksesnya.
Saat berusia lima tahun, ayahnya membawanya ke kota Medan bersama kedua abangnya, Anif dan Ehsan, tinggal bersama neneknya di Jalan Semangka. Neneknyalah yang mengasuh dan menyekolahkan Rahmat bersama kedua kakaknya, sejak SD, SMP hingga SMA.
Ayah Rahmat sengaja mengirim anak-anaknya ke kota besar agar mengenal kehidupan lebih luas dan belajar mandiri. Semasa kecil, menurut Pak Rahmat, ayahnya memang sangat keras dan disiplin, terutama mendidik agama. Sebuah rotan tersedia di atas meja saat ayahnya mengajar ngaji atau memanggil guru agama untuk anak-anaknya.