- Istimewa
“Anak-anakmu Adalah Panah Hidup”: Refleksi Pendek Atas Kehidupan Anak-anak Buruh Migran
Dari mereka yang ada di Pertakina, muncul sejumlah cerita kelam. Cerita tersebut tidak hanya tentang kesulitan yang dihadapi di tempat mereka bekerja di luar negeri, ketiadaan perlindungan hak bagi mereka, termasuk bagaimana mereka menyaksikan teman-teman mereka mengalami kecelakaan kerja hingga maut menjemput mereka.
Saat kami datang, tidak lama berselang, baru saja para aktivis Pertakina menerima jenazah pekerja migran yang dipulangkan dari Malaysia. Cerita bergulir tentang proses pemulangan jenazah yang membuat hati terasa nyeri saat mendengarnya.
Cerita berlanjut pada soal bagaimana nestapa berlanjut ketika sejumlah pekerja migran pulang, dan menemui kenyataan pahit. Para pekerja migran terpaksa harus kehilangan keluarganya, baik pasangan hidupnya yang menceraikan mereka, maupun anak-anak mereka. Mereka terpaksa kehilangan anak-anaknya yang berkembang dalam kehidupan pengasuhan nenek yang berbeda dengan yang mereka alami saat mereka bertumbuh dalam pengasuhan sang nenek yang saat dulu merupakan ibunya.
Bukan, kita bukan mendengar cerita tentang kekejaman atau pengabaian sang nenek, akan tetapi sang nenek ternyata kelewat memanjakan sang cucu, sehingga semua permintaan cucu diiyakan saja. Masalah juga muncul karena kesenjangan usia yang sangat Lebar dengan sang cucu, sehingga berdampak pada kurangnya kemampuan untuk memahami situasi zaman yang bergerak cepat.
Pada satu titik, nenek hanya menjadi tempat sang cucu untuk meminta uang dan bantuan-bantuan kecil lainnya untuk kepentingan sekolah.
Lingkungan pergaulan yang berubah dengan cepat, dengan tuntutan yang menjadi sumber tekanan baru, mendorong anak masuk dalam sebuah situasi yang cenderung menyelaraskan dengan lingkungan tersebut. Anak-anak tumbuh lebih banyak bersama dengan lingkungan teman sebayanya, sehingga ajakan untuk berhenti sekolah dan tidak melanjutkan kembali pendidikannya diikuti dan dipatuhi oleh mereka.
Anak-anak ini bertumbuh dengan kurangnya kesadaran akan pentingnya membekali diri dengan pendidikan yang lebih tinggi. Mereka tumbuh dengan kecenderungan untuk bersenang-senang, dan tidak memanfaatkan waktu untuk melakukan hal-hal yang positif sebagai bekal untuk masa depan yang lebih baik. Mereka tumbuh tanpa keterarahan yang jelas dalam proses pengasuhan. Mereka tumbuh tanpa kehadiran orangtua yang lengkap.