- tim tvone
Ban Serep
Berbeda dengan sistem parlementer, wakil presiden dalam sistem presidensial adalah sosok yang harus menyingkir ketika presiden ada. Presiden ibarat matahari, kita tak pernah bicara ada matahari kembar. Yang ada hanya satelit yang berputar mengelilingi sang pusat: matahari.
Di hadapan pusat: presiden, semua pribadi kuat akhirnya harus meluruh. Jusuf Kalla yang dua kali menjadi wakil presiden, tokoh yang dikenal bekerja cepat dan cermat. Akronim JK sering disebut sebagai: Jalan Keluar. Tokoh kuat ini “hilang” ketika menjadi “orang nomor dua. Wakil presiden lain tentu tak kita harap akan terdengar: Boediono, Ma’ruf Amin atau Megawati (saat jadi pendamping Abdurrahman Wahid).
Apa boleh buat era kepemimpinan nasional dwi tunggal telah lewat. Kita seperti rindu sebuah zaman ketika dua pribadi yang kuat, dua pemimpin berbeda watak dan keyakinan politik, dua wakil terbaik dari rakyat yang mewakili sekian keragaman suku, adat, bahasa bisa bersatu menjalankan roda pemerintahan tanpa saling meniadakan.
“Hatta dan aku tak pernah ada dalam gelombang yang sama,” ujar Soekarno dalam memoarnya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Namun, toh Soekarno tak mau meneken naskah teks proklamasi jika tak bersama Hatta, ia tak ingin membacakannya jika tak ada Bung Hatta di sampingnya.
(Sang Proklamator Bung Karno. Sumber: ANTARA)
Dwi tunggal di hadapan rakyat seperti kekal tanpa cela. Ia menjelma mitos. Ketika rakyat yang di Madiun pada 1948 diberi pilihan akan mengikuti Musso atau Soekarno-Hatta, spontan rakyat mengikuti perintah sang pemimpinnya yang membuat pemberontakan PKI Madiun mudah dipatahkan.
Maka, publik hancur ketika akhirnya Bung Hatta pada 1956 mundur dari jabatan Wakil Presiden yang dijabat sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945. Saat pengunduran diri, Bung Hatta menyebut ingin memberi kesempatan kepada Soekarno untuk membuktikan ia dapat membawa Indonesia mencapai kemajuan.