- tim tvonenews
Belajar dari China
Harus diakui, selama ini negeri dengan penduduk sebanyak 1.425.510.733 jiwa ini gambarannya dalam kepala saya adalah gemar menebar ancaman pada kelompok beragama, warganya gemar meludah di mana mana, bangunannya kaku dan kumuh, memiliki kamar mandi dan kakus yang jorok, pelayanan hotel dan restoran yang tak ramah dan seadanya.
Selama dua minggu saya mengunjungi sejumlah kota di sana, dari Beijing hingga Xinjiang di dekat perbatasan Asia Tengah, saya hampir tak menemukan gambaran pedesaan. Saya merasa semua wilayah telah tumbuh menjadi kota-kota megapolitan dengan bangunan bangunan jangkung berdesain modern, futuristik hingga avant garde saling berjejal. Jalan jalan bebas hambatannya mulus, lebar dan panjang seperti tanpa ujung dipenuhi mobil mobil mewah buatan Eropa.
Bahkan pada wilayah wilayah paling ujung, di perbatasan jalur sutra yang terkenal dengan alam yang tak bersahabat, seperti Urumqi, Kashi, Holan, Qiemo kehidupan modern masih terlihat. Pada pusat-pusat perbelanjaan dan pasar pasar tradisional saya melihat kemakmuran warga dari gaya busana, barang-barang bermerek yang dikenakan dan kendaraan yang digunakan.
Mereka tak hanya pandai merawat ratusan masjid-masjid tua bersejarah, tapi juga membangun pusat pendidikan Islam baru yang modern dan terintegrasi.
(Ketua Yayasan ASFA Foundation Komjen Polisi (Purn) Dr. H. Syafruddin mengunjungi Xinjiang Islamic Academy. Sumber: istimewa)
Berada di Xinjiang Islamic Academy, saya terpesona melihat ratusan santri bersimpuh di karpet karpet indah di dalam masjid berarsitektur modern, seperti berlomba menderaskan dan menghafal Al Quran. Sekolah Islam terbesar di Urumqi yang resmi digunakan sejak 2017 ini terdiri dari sejumlah bangunan megah sejak ruang kelas, masjid, perpustakaan, asrama hingga sarana olah raga seluar hampir 10 hektare.
Agaknya, menilik sejarah China modern, salah satu yang mendobrak kebekuan ekonomi adalah tindakan Deng Xiaoping mengunjungi negeri negeri di Selatan, seperti Shenzhen, Zhuhai yang dikenal sebagai “Perjalanan ke Selatan”. Meski ia menyebut lakunya sebagai ‘tamasya,’ selama enam bulan pemimpin revolusi ini melihat kebuntuan ekonomi terjadi di mana-mana.