- tim tvonenews
Sensor
DARI mana datangnya sensor? Jawabnya: dari pemerintah yang cemas. Sensor adalah pelembagaan dari rasa was-was penguasa.
Ajaibnya, meski telah berkali kali dibuktikan dalam sejarah (pada era kolonial di abad ke 19 dengan pasal 'Haatzaai artikelen'; zaman Soekarno dengan Undang Undang Darurat Perang; UU Subversif pada era Soeharto) bahwa aksi menyensor adalah perbuatan sia-sia, namun toh penguasa yang kehabisan akal tetap menempuh cara "kuno" untuk menegakkan kuasanya atau demi memuaskan hati sebagian orang-orangnya.
Dan di panggung Indonesia Kita pekan lalu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Agus Noor dan Butet Kertaredjasa, dua pewujud lakon Musuh Bebuyutan menceritakan pengalaman mereka berhadapan dengan sensor dengan setengah bercanda;
“Saya seperti de javu,” ujar Agus Noor. “Keren, selamat datang Orde Baru,” ujar Butet.
Sikap santai keduanya agaknya didasari sensor yang sebenarnya sebuah kesia-siaan tadi. Sebelum pentas, keduanya memang diminta menandatangani surat tak memanggungkan unsur politik, tidak menyampaikan kebencian pada pemerintah oleh seorang petugas kepolisian yang mendatangi lokasi pertunjukan.
Namun toh di panggung, Inayah, putri Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang sangat berbakat melucu itu, terus saja menggelontorkan sindiran-sindiran pada penguasa yang mengocok perut penonton: “Susah sekarang cari kerja, sangat susah, bahkan Presiden pun harus mencarikan kerja buat anaknya.” Punchline Aliyah berbalas tertawaan pengunjung dan tepuk tangan panjang.
Iya, agak mengherankan jika saat ini penguasa masih percaya pada sensor. Penyair Rendra pernah dilarang membaca puisi. Pertunjukan deklamasinya pernah dikacaukan dengan serangan bom amonia oleh orang-orang suruhan tentara. Tapi kita kini mengenalnya sebagai pembaca puisi dengan honor terbesar dalam sejarah Indonesia. Penonton memadati pentas baca puisinya di mana saja. Ketika ia memegang kertas sambil membaca puisi, ada nuansa sihir yang magis.
Teater Koma kerap dilarang tampil saat Orde Baru, namun kini jadi salah satu grup teater dengan jumlah penonton terbanyak. Pentasnya penuh dengan tukang catut tiket. Bahkan suatu kali kaca loket penjualan tiket pecah karena antusiasme penonton yang sangat besar, yang kini penontonnya rata berusia semakin muda.
Pramoedya Ananta Toer yang di masa lalu buku bukunya harus kita bawa dengan dibungkus koran atau dibenamkan jauh di dalam tas agar terhindar dari pemeriksaan petugas, kini karya-karyanya dijual dengan harga “selangit” dan ia salah satu pengarang Indonesia yang paling dikenal di pelbagai negeri.
Rezim pengawasan yang melibatkan struktur birokrasi yang panjang ternyata juga bisa mengundang tawa.
Presiden keempat Republik Indonesia Abdurrahman Wahid memiliki banyak anekdot lucu seputar berhadapan dengan Intel Melayu. Sebagai pegiat organisasi masyarakat sipil, entah di Nahdlatul Ulama ataupun di Forum Demokrasi kehadiran Gus Dur dalam berbagai diskusi memang seringkali dikuntit petugas telik sandi.
Berhasil mensiasati keadaan dengan tak kehilangan humor adalah tanda kecerdasan. Dan Gus Dur salah satu di antara manusia cerdas tersebut.
Tahu tengah jadi sasaran intel, suatu kali dalam sebuah pertemuan dengan berbagai Kyai, Gus Dur meminta pembicaraan dilakukan dengan Bahasa Arab. Diskusi lalu berlangsung gayeng menggunakan bahasa Arab untuk menceritakan perkembangan situasi nasional yang sedang berlangsung di Indonesia.
Ketika si intel ini pulang, lapor ke komandan, lalu komandannya bertanya, “Tadi membicarakan apa?" Lalu si intel ini karena tidak bisa berbahasa Arab, berkata: “Oh tidak ada pembicaraan apa-apa, tidak ada diskusi, tadi itu saling mendoakan," ujar sang anak buah.
Humor Gus Dur ini tentu lucu, membuat publik yang mendengar terpingkal-pingkal.
Demikian, sensor oleh rezim yang tengah cemas bisa sangat menggelikan. Aparaturnya bahkan tak hanya ingin mengontrol makhluk hidup, bahkan mengawasi benda mati, seperti matahari dan kuburan.
Saat Orde Baru gerhana matahari diperlakukan seperti film porno.
Rakyat dikontrol (maknanya dilarang) melihat peristiwa alam itu secara langsung. Edaran dibuat agar 11 Juni 1983 warga bagaimanapun caranya selama 7 menit —saat pukul 12 siang— tetap berada di dalam rumah. Pengawasan sangat ketat. Mencekam. Pemerintah menakut nakuti bahaya yang timbul jika berani keluar rumah dan menatap matahari secara langsung.
Semua pekerja profesional, peneliti dari berbagai disiplin keilmuan saat itu seolah takluk berhadapan dengan kuasa Soeharto. Para dokter di Departemen Kesehatan, peneliti LIPI, birokrat di Departemen Penerangan bahu membahu mengikuti instruksi yang kini kita tahu hanyalah tahayul belaka.
Kini kita beramai-ramai mengabadikan moment ilmu pengetahuan itu dengan aneka gawai canggih bahkan teleskop terbaru. Tapi Soeharto ketika itu sangat berkuasa, sensor masuk ke mana saja, termasuk ke wilayah disiplin ilmiah.
Tentu yang jenaka bukan hanya pengalaman kita saja.
Lee Kuan Yew sebagai pemimpin yang resah di Singapura juga melakukan hal yang sama pada 1983. Alkisah, Tan Chai Wa, seorang komunis yang teguh ditangkap di Malaysia karena memiliki pistol. Dengan Undang Undang Keamanan Dalam Negeri (ISA) yang ketat akhirnya Tan dihukum gantung.
Sang Kakak, Tan Chu Boon membawa jenazahnya untuk dikebumikan di sebuah kompleks pemakaman terbesar di Singapura. Di atas batu nisan, Tan Chai Wa menuliskan pesan yang diberikan janda sang mendiang. Lalu, dengan huruf China, Tan menuliskan pesan tentang kebencian sang mendiang selama hidup kepada “masyarakat lama” dan “keyakinan tanpa batas akan kemenangan revolusi” di tanah air.
Pada bagian akhir tulisan di batu pualam yang mengkilap jika terkena sinar matahari itu juga diikutkan selarik puisi: “Kapan tiang gantungan akan dihancurkan untuk mewujudkan surga baru?” Demikian, Tan merasa dengan menuliskan keyakinan adiknya pada sepotong batu nisan, tugasnya telah purna: membawa pulang dan memakamkannya dengan terhormat.
Namun, tak lama flatnya yang sederhana di pinggiran kota Singapura didatangi petugas berbaju preman dari Departemen Investigasi Kriminal. Berbekal secarik kertas dari pembuat batu nisan, Tan Chu Boon didakwa melakukan perbuatan subversif. Tan Chu Boon pun diancam hukuman lima tahun dan denda 10.000 dolar Singapura.
Kini epitaf pada makam Tan tak ada lagi. Konon keluarga akhirnya memutuskan memplester tulisan dengan semen putih, tak ada lagi kalimat-kalimat yang dapat terbaca.
Kenapa sebuah gerhana matahari dianggap berbahaya, dan sebuah epitaph pada nisan bisa dianggap menghasut? Jawabannya, yaitu tadi, karena pemerintah tengah cemas.
Penguasa jenis ini sangat khawatir dengan berbagai tafsir kebenaran yang tumbuh di masyarakat. Ia dengan gelisah ingin menguasai, memonopoli makna kebenaran sesuai yang dipahaminya sendiri.
Ada definisi Kebenaran dengan K besar yang ingin disebarkan, didesakkan pada masyarakat dengan tanpa dialog. Negara seringkali selalu ingin jadi penafsir tunggal kebenaran. Misalnya dengan menyensor pertunjukan kesenian, mengawasi teks buku dan memelototi isi media massa di zaman revolusi teknologi seperti sekarang ini jadi terdengar absurd dan lucu.
Bukankan kini tak ada lagi otoritas sebagai satu satunya 'gatekeeper'? Kekuasaan dan kekuatan saat ini mengalir ke mana saja, termasuk ada pada rakyat yang berdaulat mengkonsolidasikan “perlawanan” dengan bantuan media sosial. Jadi berhadapan dengan penguasa yang cemas kita kini bisa tertawa saja. (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)