- tim tvonenews
Imagologi Debat Cawapres
DENGAN novel Nesmrtelnost (Immortality), pada 1990 penulis pembangkang dari Ceko yang wafat medio 2023 lalu, Milan Kundera memperkenalkan istilah imagologi.
Seperti kebiasaannya, secara agak murung dan samar, Kundera menjelaskan kata ini: beroperasinya citra, imaji di dalam masyarakat.
Imagologi merangkum kerja kerja yang biasanya dilakukan biro iklan, manajer kampanye pemilu, tokoh pemengaruh (influencer) yang mencangkokkan sistem, norma, nilai-nilai tentang yang ideal dan yang anti-ideal di masyarakat. Cerdas dan bisa dipercaya itu berpakaian kemeja warna biru muda, peduli ekonomi lokal itu mengenakan sepatu sneakers, up to date dan hipster itu mengutip istilah-istilah dalam skema usaha rintisan atau menyebut istilah 'carbon capture and storage'.
“Kenyataan lebih kuat dari ideologi,” ujar Kundera. “Tapi, imagologi lebih kuat dari kenyataan,” tambah Kundera yang lama hidup dalam totalitarianisme rezim komunis di Cekoslovakia.
Saya seperti menemukan makna dari pernyataan Kundera setelah menyaksikan lagi secara langsung debat kedua Pemilihan Presiden 2024 yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU), kali ini digelar di sebuah venue megah di Jakarta Convention Center, Senayan.
Sepanjang dua jam lebih, imaji, citra, persepsi diperebutkan, dipertandingkan dalam debat yang kali ini melibatkan cawapres: Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming dan Mahfud MD.
Seperti halnya pertandingan meraih pencitraan, kebenaran informasi dan data yang disampaikan tak benar-benar penting, bahkan cenderung disembunyikan. Logika publik dibuat majal karena yang terus menerus dikembangkan adalah perilaku idolatry, sikap pemberhalaan pada sosok capres dan cawapresnya. Idola tak bisa berbuat salah.
Debat hanya ajang untuk mempertebal keimanan masing masing pendukung.
Akibatnya, kita pun abai pada substansi, misalnya benarkan pertumbuhan ekonomi 5 persen paling baik di dunia? Apakah pertumbuhan sebesar itu berkualitas, dalam artian sanggup meningkatkan taraf hidup warga Indonesia mayoritas? Apakah tak ada kecenderungan de-industrialisasi di Indonesia, ketika gelombang barang murah, pakaian bekas, benda-benda impor membanjiri Indonesia?
Atau benarkah yang terjadi saat ini hilirisasi seperti yang selalu disebut sebut capres dan cawapres dengan dada busung itu? Apakah yang terjadi bukan hanya smelterisasi, peleburan barang tambang dan mineral semata yang mungkin saja nilai pencemaran lingkungannya lebih besar dari manfaatnya?
Pendeknya, kita tak mendapati pertanyaan kritis lanjutan seperti itu misalnya karena debat tak mewadahi adanya benturan pikiran-pikiran kritis.
Tak aneh jika Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara yang pernah jadi panelis debat pada pemilu 2019 akhirnya memutuskan mundur dari deretan panelis pada Pilpres 2024. Alasannya, ia tak melihat manfaat deretan kaum intelegensia yang dilibatkan KPU.
“Kami hanya jadi perumus pertanyaan saja yang akan dibacakan moderator. Tak bisa mendebat apalagi menajamkan jawaban capres dan cawapres,” ujar Bivitri.
Lalu, yang terjadi adalah pameran angka dan data yang tak terverifikasi kebenarannya. Mahfud MD misalnya “menjual” target pertumbuhan ekonomi tertinggi di antara dua calon lain; 7 persen. Bagaimana caranya? Secara otak atik gatuk Mahfud hanya menyebut, dengan menyetop korupsi.
Jalan pikirannya sederhana —atau terlampau menyederhanakan— bahwa saat menjadi Menko Polhukam ia berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp677 Triliun, lalu jika ditambah dengan penyelamatan uang negara pada instansi lain, seperti KPK dan Kejaksaan Agung, maka jika digelontorkan ke sektor riil dan UMKM, pertumbuhan ekonomi serta merta segera bisa digenjot menjadi 7 persen.
Simplifikasi juga menghinggapi visi misi cawapres termuda Gibran Rakabuming Raka.
Sambil menyebut pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke IKN di Kalimantan Timur sebagai contoh pemerataan pembangunan, Gibran menyebut anggaran negara yang digunakan untuk mewujudkan cita cita besar itu hanya 20 persen.
Sisanya akan diambil dari investor asing dan lokal yang berpatungan untuk membangun ibu kota baru itu. Padahal, belum lama Presiden Joko Widodo menyebut belum ada investor yang secara resmi asing maupun lokal yang masuk ke IKN.
Muhaimin Iskandar berusaha tampil sebagai diri sendiri yang otentik. Muhaimin mengkritik pilihan kebijakan membangun IKN yang menurutnya bukan skala prioritas, hanya proyek ambisius.
"Kalau mengandalkan APBN hampir Rp500 triliun untuk bangun IKN. Satu persen saja dari Rp500 triliun untuk bangun jalan di Kalimantan itu beres. Lalu 3% saja dari seluruh anggaran IKN bisa bangun sekolah yang baik di Kalimantan," ujar Muhaimin.
Jika menghitung perkiraan Cak Imin dengan menilai proyek Rp500 triliun maka 1% setara dengan Rp5 triliun sementara 3% setara dengan Rp15 triliun. Bappenas pernah menjelaskan dibutuhkan anggaran sebesar Rp2,9 miliar untuk membangun satu Sekolah Dasar.
Saya teringat buku kecil dan tipis yang terbit sejak lama (tahun 1954) dan diterbitkan di Indonesia tahun 2002: Berbohong dengan Statistik.
Darrell Huff, sang penulis buku penting itu menyebut mengutip sebuah angka statistik yang benar, bahkan bisa mengecoh bila disajikan dengan sesuatu yang dibuat untuk mengelabui.
Pemerintah misalnya kerap menggunakan data GDP di suatu waktu, tapi di saat lain menggunakan data pertumbuhan ekonomi untuk membicarakan hal yang sama: kesejahteraan. Data mana yang benar-benar merepresentasikan kesejahteraan?
Agaknya kita perlu mendengar peluit peringatan yang disampaikan ekonom terbaik kita saat ini yang pemikirannya selalu cemerlang, Chatib Basri, ihwal generasi emas kita terancam tua sebelum kaya.
Sebabnya, dalam analisa Chatib, pertumbuhan di kisaran 5 persen dalam sepuluh tahun Pemerintahan Jokowi sangat tidak cukup melepaskan Indonesia dari jebakan negara dengan pendapatan menengah (middle income trap).
Kajian Bappenas menyebut untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah pertumbuhan ekonomi harus dipacu 6-7 persen.
Mestinya kita tidak lagi meninabobokan diri dengan menyebut capaian medioker ini lebih baik dari negara serumpun, toh kita “salah satu yang terbaik di Asia Tenggara” atau “dalam tekanan ekonomi global, kita masih bisa tumbuh,” karena dengan bonus demografi (yang selalu ditekankan oleh salah satu kandidat) kita mestinya bisa tumbuh lebih tinggi.
Karena sejatinya kita tengah berpacu dengan waktu. Dipastikan setelah 2050 Indonesia memasuki era penduduk usia lanjut. Ketika saat itu tiba, rasio produktivitas menurun, pajak tak bisa ditarik lagi, sementara kebutuhan subsidi kesehatan dan pensiun meningkat.
Tidak bisa tidak, momok yang dulu dikhawatirkan akan terjadi: generasi emas yang disebut dalam debat sebagai bonus demografi hanya akan mengalami tua sebelum kaya.
Bukankah itu dialami juga oleh Korea dan Jepang? Benar. Hanya mereka pasti lebih beruntung. Dengan sungguh-sungguh, Korea dan Jepang berhasil membuat lompatan pertumbuhan ekonomi di awal, saat tengah mengalami bonus demografi. Walhasil, dua negara itu, ketika masuk periode penuaan penduduk di pertengahan tahun 80-an, income per kapita mereka sudah di atas USD 40 ribu.
"Bayangkan kalau tahun 2050 Indonesia masuk aging population di mana income kita di bawah USD 30 ribu, apa implikasinya? Ada risiko kita akan menjadi tua sebelum kaya," ujar Chatib.
Sinyalemen Chatib tentu hanya jadi gaung di padang gurun tanpa ada yang peduli.
Saya keluar dari ruang debat di Jakarta Hilton Convention Center itu sambil melihat massa-masa yang terus bersorak sorai, memuji dan memberi dukungan pada masing masing kandidatnya.
Di antara suara bising yel yel dan teriakan, tak terdengar lagi janji, pernyataan yang baru saja diucapkan para cawapres beberapa menit sebelumnya. Dan, semua pernyataan menguap bersama angin. (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)