- tim tvonenews
Tanah dan Air
TAK ADA angin tak ada hujan, tiba tiba Presiden Jokowi mengomentari jalannya debat ketiga soal pertahanan yang pekan lalu digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Istora, Senayan, Jakarta.
Intinya, Presiden merasa jalannya debat terlalu berat menyoroti persoalan pribadi. Calon presiden yang berkontestasi tak banyak mengupas soal-soal penting dalam program dan visi misi pasangan capres yang sudah diserahkan pada KPU.
Pernyataan kepala negara tentu perlu diapresiasi. Ia telah banyak makan asam garam, mengalami sekian banyak debat yang sama, sebelum akhirnya menjadi pimpinan tertinggi di Republik Indonesia.
Seolah menanggapi keberatan Presiden Jokowi---secara hampir bersamaan pula---tiba tiba Anies Baswedan dilaporkan pada polisi pemilu: Bawaslu. Pihak yang melaporkan, Pendekar Hukum Pemilu Bersih (PHPB) menyebut pernyataan Anies soal aset tanah yang dikuasai Prabowo seluas 340 ribu hektare merupakan fitnah dan serangan pribadi. Mereka meminta pernyataan calon presiden dalam debat resmi itu dicabut dan diberi sanksi sebagai pidana pemilu.
Anehnya orang yang merasa diserang justru tak membantah substansi pernyataan Anies. Prabowo di depan pendukungnya sehari setelah debat hanya menyebut data Anies tidak akurat. Ia bahkan menyebut lahan yang ia kuasai Hak Guna Usaha-nya (HGU) mencapai nyaris 500 ribu hektare.
Pernyataan Anies sejatinya tidak orisinal. Ia hanya mengutip pernyataan Presiden Jokowi—orang yang kini tengah berperan juga sebagai king maker bagi Prabowo---yang juga disampaikan dalam forum resmi debat KPU pada Pemilihan Presiden 2019. Plek ketiplek. Tak ada yang diubah. Hanya konteksnya saja berbeda, Anies menyebut dalam konteks keadilan bagi prajurit TNI yang belum memiliki rumah, sementara Jokowi dalam konteks capaian pemerintah periode pertama dalam program konsesi perhutanan sosial.
Kini publik barangkali tengah terkekeh melihat bagaimana debat Jokowi dan Prabowo saat masih berkontestasi pada pilpres 2014 dan 2019 diputar ulang. Seperti keledai kita sering terantuk pada lubang yang sama. Kita mengalami sejarah yang tak beranjak maju. Sejarah hanya berputar putar, jalan ditempat.
Saya sepakat dengan pernyataan Jusuf Kalla, aduan Anies ke Bawaslu harusnya dijadikan ajang untuk memperjelas ihwal kepemilikan tanah Prabowo. Semua harus diperjelas, termasuk berapa banyak yang dikuasai, di mana saja letaknya. Dan jika memang akan diserahkan pada negara, bagaimana tindak lanjutnya. Jika tetap akan dikelola, harus dirumuskan bersama aturannya lewat pemerintah dan DPR karena Prabowo kelak jika menang pemilu akan jadi pejabat publik tertinggi di Republik ini.
Sebab, kita tidak ingin rencana besar Presiden Jokowi membangun Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara diganjal isu tanah ini. Kita tidak ingin ada dikotomi lagi antara Jawa dan Luar Jawa sehingga niat mulia memeratakan pembangunan dengan memindahkan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur harus kita dukung. Bukankah ini salah satu amanat Presiden Soekarno?
Dalam buku berjudul Soekarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangka Raya, sang arsitek itu ingin membangun ibu kota Indonesia di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Alasannya titik ini persis di tengah Republik, bisa menggambarkan keluasan dan keanekaragaman Indonesia.
Tak hanya gagasan, Soekarno bahkan sudah menceritakan idenya pada sahabat lama; Uni Soviet. Pada insinyur dari Soviet, Soekarno menumpahkan pengetahuan pada desain dan tata kota yang diinginkan bagi calon ibu kota baru tersebut.
Dalam bayangan Soekarno, ibu kota republik akan menjadi perpaduan kota taman dan sungai. Sebuah kota metropolis akan tumbuh dari tepi Sungai Kahayan. Ketika itu sepanjang tepi sungai sudah dibersihkan, jalan mulus yang lebar lalu dibangun di atas lahan gambut. Sayangnya prahara politik dan krisis ekonomi mengubur mimpi besar tersebut pada 1965.
Baru pada era Jokowi mimpi besar ini bisa kembali dihidupkan. Masalahnya publik harus dibuat percaya bahwa keputusan-keputusan pembangunan di IKN harus berdasar kepentingan seluruh warga, tanpa ada 'vested interested' dari pejabat publik yang memiliki tanah di lokasi yang dibangun pemerintah pusat.
(Presiden RI ke 1 Soekarno. Sumber: ANTARA)
Apalagi kita tahu persoalan yang dibongkar Anies sebenarnya sangat substansial: keadilan dalam distribusi tanah. Sebelumnya kita tahu di hadapan Presiden Jokowi saat membuka Kongres Ekonomi Umat, Wakil Ketua MUI Anwar Abbas pernah membuka data ada 1 persen penduduk Indonesia menguasai 59 persen lahan yang ada di Indonesia.
Jokowi mengakui fakta itu. "Yang berkaitan dengan penguasaan tanah, apa yang disampaikan Buya betul. Tapi bukan saya yang membagi, harus saya jawab," kata Jokowi saat itu.
Jauh sebelum jadi kandidat calon wakil presiden, Mahfud MD juga pernah menyampaikan fakta yang sama. Melalui cuitan akun Twitter, Mahfud menyebut penguasaan HGU hingga ratusan hektar oleh group group besar adalah sebuah kegilaan. Praktik penguasaan tanah ini didapat dari residu masa lalu yang rumit, didukung dengan kelengkapan hukum formal. “Tapi pemerintah harus bisa mengaturnya,” ujar Mahfud saat itu.
Namun, hingga periode pemerintahan Jokowi akan berakhir kurang dari setahun lagi kita belum juga diyakinkan bagaimana negara akan menyelesaikan soal redistribusi aset tanah yang lebih adil.
Sejatinya, jika mau belajar dari sejarah, kita punya cerita sukses menghasilkan Undang Undang Pokok Agraria pada 1960. Capaian bersejarah itu, ujar pakar sosiologi pedesaan Gunawan Wiradi dalam "Sejarah UUPA 1960 dan Tantangan Pelaksanaannya Selama 44 Tahun" (2004), kuncinya ada pada kehendak pemerintah. Keinginan Soekarno dan partai pendukung UUPA untuk mendahulukan persoalan tanah dan kesejahteraan petani setelah kemerdekaan dibacakan pada 1945, mendapat dukungan penuh dari mayoritas partai politik.
Alasannya, kaum tani sebagai penduduk mayoritas di pedesaan dianggap patut mendapat hak mereka atas kepemilikan tanah. Cara ini juga dianggap bisa mempercepat pertumbuhan produksi pangan. “Tujuan yang hakiki adalah mengubah susunan masyarakat, dari suatu struktur warisan stelsel feodalisme dan kolonialisme menjadi suatu masyarakat yang adil dan sejahtera,” papar Wiradi dalam makalah tersebut.
(Poster Land Reform. Sumber: Seknas KPA)
Satu bulan sebelum pengesahan, saat pidato menyambut Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1960 Soekarno membanggakan capaian monumentalnya: “Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah! Tanah tidak untuk mereka yang duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk karena menghisap keringatnya orang-orang [yang] diserahi menggarap tanah itu.”
Undang-undang Pokok Agraria adalah palu untuk menghancurkan sisa sisa kolonialisme di Indonesia. melalui reformasi agraria, praktek penghisapan tenaga petani akibat kolonialisme dan feodalisme dapat segera dihapus.
“Landreform di satu pihak berarti penghapusan segala hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah, dan mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur, di lain pihak landreform berarti memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia terutama kaum tani,” kata Bung Karno.
Kita tahu kemudian, Partai Komunis Indonesia (PKI) mendapat kemenangan besar di banyak daerah pemilihan dengan “mengatasnamakan” program reformasi agraria. Karena pelaksanaan yang tak mudah, banyak tuan tanah (yang diserang PKI sebagai salah satu dari tujuh setan desa) banyak berkongsi dengan pemerintah daerah untuk mengamankan aset tanahnya. Akibatnya, di banyak tempat di Pulau Jawa pecah aksi-aksi sepihak perampasan tanah yang dipelopori kader kader PKI.
Demikian, persoalan redistribusi aset dan pemerataan penguasaan akan tanah yang kini disuarakan Anies Baswedan sejatinya bukan hanya persoalan gimmick politik jelang pemilu belaka. Ia sebenarnya hal yang laten, jadi perjuangan yang tak putus putus dalam sejarah perlawanan rakyat kecil. Bahkan jauh sebelum konsep Indonesia diartikulasikan dalam teks teks sejarah.
Sebab, persoalan tanah selalu menyangkut identitas budaya, pembentukan sejarah bangsa. Tak heran jika penyebutan negeri atau bangsa, tempat darah pertama kali ditumpahkan adalah tanah air.
Agaknya Anies hanya tengah mengingatkan sebuah sejarah. Toh ada adagium jangan sekali kali melupakan soal sejarah. Lalu bagaimana tentang gugatan Presiden soal mutu debat dan laporan pendukung salah satu paslon di Bawaslu? Barangkali ada yang tengah panik dikejar target yang terlampau tinggi, sehingga dalam bahasa lain bisa diistilahkan: 'at all cost'. (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Baca artikel tvOnenews.com terkini dan lebih lengkap, klik google news.
Ikuti juga sosial media twitter @tvOnenewsdotcom dan facebook Redaksi TvOnenews.