- tim tvonenews
Publisher Rights
SETELAH pemilu usai, cara terbaik untuk mengawal hasilnya, bagi para profesional adalah dengan kembali bekerja di biliknya masing masing, wilayah kerjanya sendiri sendiri. Melihat ke dalam, melakukan otokritik, adakah cara terbaik membuat ekosistem kita masing masing terus sehat dan semakin sehat.
Karena itu saya gembira ketika pada Hari Pers Nasional, Presiden Jokowi akhirnya meneken Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas atau publisher rights (selanjutnya cukup publisher rights).
Kerja-kerja panjang dan spartan dari pakar dan ahli untuk merumuskan hubungan yang adil dan setara antara media massa berhadapan dengan platform digital global akhirnya disetujui. Meski masih membutuhkan enam bulan untuk masa transisi, aturan ini bisa menjadi daya tawar media massa saat ini berhadapan dengan platform digital seperti seperti Google, Meta (Facebook-Instagram), X (Twitter), TikTok, dan lain-lain.
Secara heroik, Agus Sudibyo, Dewan Pakar Persatuan Wartawan Indonesia bahkan menyebut ini kemenangan simbolik dan politis.
“Kita bisa mengatur platform global dalam mekanisme perumusan kebijakan yang demokratis," ujar Agus yang nyaris tak pernah henti mensosialisasikan pentingnya publisher rights bagi ekosistem media massa di Indonesia beberapa tahun belakangan.
Apa sebenarnya makna penting publisher rights? Salah satu yang paling penting adalah penghargaan akan nilai ekonomi dari konten media massa yang kerap digunakan platform digital untuk menaikan trafik dan meraih data pengguna. Dengan aturan ini seluruh pemanfaatan konten milik publisher tidak lagi bisa cuma-cuma atau gratis. Dengan kata lain, harus ada negosiasi pembagian remunerasi revenue yang transparan dan adil antara kedua belah pihak.
Negosiasi jadi kata kunci dari peraturan presiden ini untuk menjembatani ketimpangan antara media massa dengan platform digital global yang terjadi akibat disrupsi digital. Ada harapan persaingan usaha dan hak cipta akan mendapat perhatian lebih dengan aturan baru ini.
Lalu untuk apa harus mengundang intervensi negara? Tidakkah preseden buruk, meminta negara ikut campur dalam urusan media?
Data memang membeberkan perlunya intervensi negara karena ekosistem media massa daring saat ini sangat monopolistik. Segelintir perusahaan platform digital telah menguasai lebih dari 70% belanja iklan digital dan lebih dari 80% distribusi konten jurnalistik. Kehadiran negara untuk mengendalikan industri yang mulai tidak sehat. Apalagi, jika bidang itu bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak, seperti pers.
Bagi saya persoalan jurnalisme berkualitas dan bisnis yang sehat adalah satu koin dengan dua sisi. Keduanya menyatu, integral, tak terpisahkan. Dari sejarah pers yang lebih mapan, yang telah berumur ratusan tahun, seperti The Guardian atau The Economist misalnya kita belajar, jurnalisme yang bermutu harus disokong oleh bisnis yang kuat. Begitu juga sebaliknya, bisnis yang sehat, pasti disokong oleh kualitas jurnalisme yang mumpuni.
Apalagi, harus diakui, setelah era bredel media tidak ada lagi, ancaman terbesar kebebasan pers justru dari internal media sendiri. Banyak media massa berguguran karena ditutup oleh pemilik modal karena kesulitan keuangan yang berlarut. Bredel paling mengerikan saat ini adalah penutupan media oleh pemilik modal.
Namun, yang harus diingat, hak negosiasi ini pun tetaplah sebuah pilihan bebas. Disebutkan jelas: dalam publisher rights jika media merasa nyaman bekerja sama dengan platform digital dalam skema sebelum regulasi, itu tetap sah dan bisa terus dilanjutkan.
Namun, tak lalu semuanya sudah beres dengan terbitnya publisher rights. Kita tahu masih banyak yang mesti didetilkan lebih lanjut dalam peraturan presiden ini.
Misalnya soal bentuk-bentuk kerjasama antara media dan platform digital, kriteria-kriteria jurnalisme berkualitas, apa itu prinsip keadilan dalam hubungan media massa dengan platform digital, sekedar menyebut sejumlah soal yang perlu dielaborasi lebih lanjut pada peraturan pelaksana nantinya.
Negosiasi memang mensyaratkan adanya kesepahaman, selalu ada unsur memberi dan menerima. Menggembirakan platform digital Google Indonesia merespon aturan ini dengan apresiatif. Dalam pernyataan resminya Google menyebut akan segera mempelajari aturan Perpres Publisher Right itu.
"Kami memahami pemerintah telah mengesahkan peraturan tentang penerbit berita dan kami akan segera mempelajari detailnya. Selama ini kami telah bekerja sama dengan penerbit berita dan pemerintah untuk mendukung dan membangun masa depan ekosistem berita yang berkelanjutan di Indonesia sehingga sangatlah penting untuk produk kami dapat menyajikan berita dan perspektif yang beragam tanpa prasangka dan bias," jelas perwakilan Google Indonesia.
Saya kira Google benar, bahwa selama ini mereka memang punya jasa pada ekosistem berita yang berkelanjutan. Saat ini kita sampai pada titik tak mungkin kembali ke ekosistem pers di masa lalu. Suka atau tidak suka keberadaan platform digital telah memberikan banyak manfaat positif untuk industri media. Hampir dipastikan jika ingin ‘selamat’ saat ini kita harus bersentuhan dengan produk-produk internet of things dan kecerdasan buatan mereka.
Kritik pada aturan ini juga mesti didengar. Misalnya soal kekhawatiran adanya pembatasan selera pemberitaan di media daring atau ketakutan publisher rights hanya akan menguntungkan media media konvensional yang sudah mapan saja, sementara ratusan media kecil akan tersisihkan oleh publisher rights.
Benarkah? Selanjutnya tinggal 11 orang anggota komite yang telah diamanatkan perpres untuk menggodok lebih lanjut. Sesuai aturan, mereka haruslah perwakilan Dewan Pers, kementerian, dan pakar yang tidak terafiliasi dengan perusahaan platform digital ataupun perusahaan pers. Tokoh-tokoh yang saya kira harus berintegritas dan kredibel, orang orang yang memahami dunia digital, media massa dan bisnis media di era digital.
Jika masa transisi 6 bulan berjalan lancar, negosiasi –baik secara sendiri-sendiri maupun kolektif berjalan mulus— kolaborasi bisnis dengan kesadaran bersama, egaliter, setara akan tercipta. Dari sini transformasi bisnis yang lebih sehat akan terjadi, ketika konten dan teknologi distribusi konten bersenyawa akan melahirkan benefit, berupa trafik, popularitas, pendapatan iklan dan tentu saja data pengguna.
Hanya, sekali lagi, kita tak boleh terlampau besar bergantung pada platform digital. Ini agar kita tak bermental menyalahkan pihak lain jika ternyata bisnis media kita tak berjalan dengan semestinya. Jangan bersikap buruk muka, google dkk dipecah.
Publisher harus terus-menerus berinovasi, terutama mencari bentuk-bentuk baru pendistribusian konten, model berinteraksi dengan khalayak dan pola pola monetisasi konten yang baru. Hukum adaptasi dan inovasi mesti tak pernah berhenti, jika tak ingin punah.
Perubahan ekologi konsumsi media harus diantisipasi. Jangan sedikit sedikit menyalahkan disrupsi media dan beroperasi platform digital, jangan jangan kelemahan kita bukan pada aras distribusi dan monetisasi konten, tetapi pada ketidakmampuan pengelola media untuk bertransformasi.
Demikian, setelah pemilu 2024 usai, agaknya kita semua mesti kembali ke rumah-rumah profesi kita masing-masing, menambal dan memperbaiki bolong-bolong tembok dan atapnya. Kita mesti menyiangi gulma dan rumputnya yang mungkin sudah lebat di halaman, dan dalam konteks ini publisher rights saya kira adalah angin segar bagi ekosistem media di Indonesia. (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)