Pojok KC - Kolase Foto Pemred tvonenews Ecep S Yasa, background unjuk rasa di Universitas Columbia AS..
Sumber :
  • tim tvonenews

Dunia Pasca-Amerika

Senin, 6 Mei 2024 - 12:27 WIB

COLUMBIA University sebuah kampus yang indah dan lengkap. Saya mengunjunginya beberapa waktu lalu di New York, Amerika Serikat, sambil membayangkan suatu kali bisa menimba ilmu di salah satu jurusan terbaik di kampus tertua itu.

Salah satu jurusan terbaik adalah studi jurnalisme yang didirikan oleh legenda jurnalisme Amerika: Joseph Pulitzer.  

Gedung perpustakaannya megah dengan jendela-jendela besar dari batu bata berwarna merah terakota. Di balik jendela kaca dengan ujung yang melengkung itu, berderet buku-buku dari segala zaman dan bangsa, ditata rapih dari lantai hingga atap. Saat saya singgah untuk mengikuti sebuah ajang marathon, Amerika Serikat sedang diliputi musim semi. Alam sedang bersalin rupa dengan indah, pohon pohon maple mulai bertunas dengan daun daun berwarna kemerahan. 

Namun, sepekan kemarin kenangan indah itu berguguran. Dari media massa saya menyaksikan ratusan polisi dengan kasar menangkapi mahasiswa yang tengah menggelar kemah pro Palestina di halaman kampus. Dengan pakaian anti hura hara dan senjata lengkap, polisi menyeret satu persatu mahasiswa—sebagian polisi menelikung tubuh mahasiswa layaknya pelaku kriminal--dan melemparkan ke bus NYPD yang parkir di dalam universitas. Bahkan, seorang polisi, mungkin bermaksud menakut nakuti mahasiswa, melepaskan tembakan di kampus yang jadi ikon dalam gerakan protes antiperang Vietnam pada 1968. 

Penangkapan ratusan mahasiswa di Universitas Columbia justru semakin meluaskan unjuk rasa di kampus-kampus di Amerika Serikat.

Hampir semua kampus utama lalu menggelar kemah pro Palestina di Amerika Serikat. Mahasiswa memblokir lalu lintas di sekitar kampus Yale di New Haven, Connecticut dan Universitas New York di Manhattan. Di Pantai Barat, Universitas Politeknik Negeri California mengumumkan ditutup, setelah demonstran pro-Palestina menduduki gedung administrasi.

Total hampir 2.200 orang ditangkap polisi selama unjuk rasa pro-Palestina di  Amerika Serikat (AS) dalam beberapa minggu terakhir, sebuah tonggak protes yang hanya bisa disamai oleh protes anti-Perang Vietnam. 

Amerika Serikat agaknya bangsa yang ditakdirkan terus menerus cemas, termasuk pada mahasiswa-mahasiswanya sendiri. Mereka pernah sangat cemas diungguli Uni Soviet pada 1950-an, pada 1980-an, sangat khawatir dengan kebangkitan Jepang. Pada 2000-an cemas pada segala hal tentang China, lalu kini pada warganya sendiri.

Seorang professor linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts, Noam Chomsky  bahkan menyebut Amerika Serikat adalah negara gagal terbesar di dunia. 

Terasa hiperbol, melebih lebihkan? Mungkin. Tapi, dalam buku “Failed States” Chomsky mengungkapkan dengan rumusan terukur dan jelas. Bagi Chomsky, Amerika Serikat telah gagal memberikan keamanan bagi penduduknya, gagal menjamin hak-haknya di dalam negeri maupun di luar negeri, juga gagal mempertahankan berfungsinya lembaga-lembaga demokrasi (bukan hanya formal).

Chomsky membeberkan sistem Amerika yang ternyata tidak efisien secara ekonomi, jauh lebih mahal daripada model yang lebih disosialisasikan di luar negeri dan sangat tidak populer dengan mayoritas orang Amerika. 

Amerika Serikat menunjukkan upaya melindungi warganya dari serangan teror Iran, Kuba, Rusia dan Korea Utara dari ancaman imajiner sambil “melupakan”  keselamatan mahasiswa-mahasiswanya yang diseret paksa ke mobil-mobil polisi hanya untuk berjuang menuntut penggunaan uang pajaknya.

Sayangnya, suara Chomsky dan mayoritas demokratis itu tetap tidak terdengar, karena dunia industri, “rezim” keuangan serta kekuatan swasta lainnya sangat menentang hal itu. Kita pasti ingat bagaimana isu perawatan kesehatan beberapa waktu lalu yang sebenarnya sangat penting untuk didanai publik ditengah “ketimpangan” ekonomi yang melebar,  ternyata tak dapat dukungan politik. 

Media arus utama tak menjadikannya agenda setting yang penting. Sementara, mayoritas yang mendukung bukanlah bagian orang orang yang diperhitungkan dalam sistem politik. 

Demikian, Chomsky seperti menelanjangi setiap kepercayaan tentang Amerika Serikat sebagai negara yang patut dipuji dan disayangi oleh warganya. “Seluruh citra diri AS sebagai mercusuar kebebasan dan demokrasi, yang menerangi jalan bagi seluruh umat di dunia, adalah kebohongan,” tegas Chomsky. 

Tujuan Amerika Serikat menyebarkan demokrasi ke seluruh dunia ---setidaknya “mimpi”  sejak Woodrow Wilson--- ternyata sangat bertentangan dengan perbuatan Amerika sendiri. 

Dengan banyak intervensi asing, Washington telah bertindak untuk menggagalkan keinginan rakyat banyak negara dan mendukung mereka yang terlibat dalam tindak kekerasan paling mengerikan. Amerika Serikat telah menggulingkan pemerintahan demokratis di Iran, Chili, Guatemala dan "serenceng daftar panjang lainnya."

Di banyak tempat, AS justru memberikan basa-basi pada demokrasi prosedural (pemilu) sambil melakukan semua yang bisa dilakukan untuk mencurangi hasilnya. 

Chomsky mengenalkan kata “konsistensi rasional” pada ketidakkonsistenan antara kata-kata dan tindakan Amerika Serikat saat mendukung demokrasi di luar negeri. "Jika dan hanya jika itu konsisten dengan kepentingan strategis dan ekonomi AS,” ujar Chomsky.

Kita tahu bagaimana veto Amerika Serikat (AS) selalu mengakhiri upaya Palestina untuk menjadi anggota penuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 

Saya kira sikap yang dibutuhkan saat ini adalah kerendah hatian Abang Sam, bahwa mereka bukan lah lagi polisi dunia. Mereka harus mulai mengacuhkan dunia lain di luar batas batas negerinya yang memang mengalami perkembangan pesat.

Amerika Serikat harus mulai sadar, dalam tingkat tertentu mereka terisolasi dari perkembangan dunia. Saya sebut satu pesaing saja: Tiongkok. Pada 1990 Tiongkok menyumbang 2 persen total pendapatan domestic bruto global. Kini angka itu sudah berlipat empat, menjadi 8 persen dan tentu masih akan terus meningkat. 

Tak hanya lebih digdaya secara ekonomi, daya jangkau militernya juga semakin jangkung. Sejak 2008, Angkatan Laut Tiongkok telah mengawal lebih dari 4,300 kapal di Teluk Aden. Belanja Pertahanan Beijing akan melampui Amerika pada 2025.

Secara geopolitik Amerika Serikat juga semakin tertinggal dengan Tiongkok. Lihat lah markas Uni Afrika yang mentereng di Addis Ababa, Etiopia, dibangun oleh Tiongkok dengan nilai lebih dari $200 juta. Bahkan, saat peresmian, seorang petinggi Politbiro Partai Komunis Tiongkok ikut datang. 

Belum jika kita bicara kiprah Perdana Menteri Turki Recep Tayip Erdogan yang perannya semakin menentukan. Erdogan yang terpilih kembali karena kesuksesan menciptakan lapangan kerja baru di dalam negeri, juga semakin giat menyerukan solidaritas dunia Islam untuk kemerdekaan Palestina.

Agaknya sudah terang, Amerika Serikat bukan lagi kutub, bukan pusat gravitasi tata dunia baru ini. Jika lebih jauh kita memangdang sekeliling, bangunan tertinggi di dunia kini tertelak di Dubai bukan di Times Square Garden, orang terkaya sedunia  berasal dari Meksiko bukan di Silikon Valley, pesawat terbesar di dunia dirakit di Rusia bukan di Chicago, perusahaan dagang terbesar di dunia ada di Tiongkok. 

Penguasa ikon ikon kebudayaan pop pun sudah bergesar. Komidi putar raksasa ada di Singapura, kasino terbaik bukan lagi di Las Vegas tapi di Makau, industri film terbesar (secara jumlah produksi dan jumlah tiket yang terjual) bukan lagi di Hollywood, tapi di New Delhi (Bollywood).

Jadi, dalam banyak hal, Amerika Serikat kini hanya sehimpun dunia yang sempit. Ketakutan ketakutannya pun semakin mengecil. Sangat disayangkan, mereka kini mencemaskan tuntutan tuntutan masuk akal dari mahasiswa mahasiswanya sendiri, para tunas tunas muda yang kelak akan membawa nama Amerika  Serikat di banyak bidang pengabdian. Saya kira akan lebih baik bagi bumi dan masa depan dunia jika Amerika Serikat mulai  melepaskan pretensi keterlibatan globalnya dan mulai mengisolasi diri, tak lagi mengurusi tempat lain di peta dunia. 
(Ecep Suwardaniyasa Muslimin.)

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
02:37
03:27
15:26
14:16
02:25
03:14
Viral