- ist
Gurita Fredy Pratama Hingga ke Bali
SUDAH galib Bali dikenal sebagai cagar kebebasan. Pelbagai orang berduyun duyun datang dari banyak negeri yang jauhnya ribuan kilometer ke Bali memang ingin menikmati suasana liberal, bebas, merdeka yang dikemas dalam pariwisata. Dalam alam kebebasan itu banyak hal bisa tumbuh, kesenian, budaya juga ekonomi. Tari Kecak yang kini jadi sajian wajib bagi para turis misalnya salah satunya diciptakan seorang pengelana Jerman, Walter Spies.
Namun, apa yang saya saksikan pekan lalu bukanlah bayangan kebebasan yang saya inginkan. Yang saya saksikan ketika Bareskrim Polri mengungkap temuan pabrik narkoba skala besar bagian jaringan narkoba gembong besar Fredy Pratama di sebuah villa mewah di kawasan Cangu, Bali adalah kebebasan yang kebablasan.
Bayangkan, pada tembok tembok pinggir jalan tak jauh dari tanah lapang yang digunakan untuk aktivitas warga berolah raga, tiga WNA asal Ukraina dan seorang Rusia (anggota sindikat internasional Fredy Pratama) bisa demikian bebas membuat mural dengan cat semprot tentang adanya website penjualan narkoba jaringan hydra. Kode dan sandi untuk mendapatkan narkoba dengan tulisan Darknet Forum 2 Roads.CC itu hampir disemprotkan merata di sejumlah ruang publik di Kuta Utara itu.
Tak jauh dari kode kode pemasaran tersebut, pada sebuah kompleks villa mewah yang memiliki akses pintu masuk sendiri, didirikan pabrik narkoba skala besar. Pabrik ini memasok narkoba secara terpadu, one stop service. Tak hanya narkoba sintetis, narkoba alami juga diproduksi dengan bantuan peralatan canggih.
Saya terkaget kaget ketika masuk ke dalam villa yang dari luar nampak seperti hunian biasa ternyata memiliki ruang bawah tanah yang luas dan lengkap. Pada ruangan seluas sepertiga lapangan sepak bola itulah, pembudidayaan ganja, ekstasi, hasis, kokain dan mephedrone dijadikan satu.
Saya melihat bagaimana diantara selang selang untuk menyuling cairan kimia yang akan dijadikan aneka narkoba sintetis, lampu lampu ultraviolet khusus didesain agar tanaman ganja juga tumbuh subur. Bahkan, bibit ganja yang bisa tumbuh dalam ruangan kedap cahaya itu didatangkan dari Rumania.
Pada salah satu video yang saya dapatkan sebelum penggerebekan, tinggi tanaman sudah hampir 2 meter, pucuk pucuk daun bergerigi hampir menyentuh plafon. Dengan bantuan teknologi tata cahaya, pelibatan alat alat khusus pengatur keasaman media tanam, pemberian air dan pupuk, daun dan batang ganja nampak hijau, lebat dan subur.
Sebagian bunga putik yang tersisa setelah panen kedua yang cukup sukses, diletakan pada sebuah ember. Tak jauh dari ember itu, biji biji ganja siap tanam juga diletakan pada ember lainnya.
Kebun ganja bawah tanah itu bersebelahan dengan ruangan produksi narkoba sintetis (sabu, ekstasi dan mephedrone). Bau cairan kimia masih sangat menyengat. Di lokasi ini, polisi menyita bahan kimia, prekursor untuk membuat mephedrone hingga 520,032 kilogram.
Demikian, gembong narkoba Fredy Pratama menunjukan lagi “kecanggihannya” bukan hanya dalam mengembangkan jaringannya, tapi juga “inovasi” dalam memproduksi narkoba. Kelompok ini dengan canggih bisa menyandingkan produksi narkoba sintetis dan alami dalam satu lokasi.
Tak hanya produksi, pemasaran pun direngkuh dengan jejaring digital. Modus pemasaran menggunakan jaringan hydra Indonesia. Tembok tembok di sejumlah lokasi di sekitar pabrik ditulis dengan sandi sandi pemasaran narkoba jaringan Fredy Pratama. Pemakai bisa mendapatkan ganja hydroponic dan mephedrone produksi pabrik di Villa Sunny dengan aplikasi telegram BOT. Grup grup yang memasarkan narkoba pada aplikasi telegram sangat marak. Ada Bali Hydra Bot, Cannashop Robot, Bali Cristal Bot, Hydra Indonesia Manager hingga Mentor Cannashop.
Pabrik di Canggu bukan lokasi pertama yang diungkap. Sebelumnya Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri juga menggerebek pabrik ekstasi milik jaringan Fredy Pratama di Perumahan Taman Sunter Agung, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Enam orang kaki tangan Fredy yang mengoperasikan pabrik ini ditangkap. Saat digerebek dari pabrik ini saja disita ribuan ekstasi dan bahan pembuat ekstasi.
Kelompok Fredy jelas bukan bandar kaleng kaleng. Untuk membekuk jaringan ini polisi membentuk tim khusus bernama Operasi Escobar. “Saat ini jaringan Fredy Pratama masih salah satu pemain yang terbesar,” ujar Kabareskrim Komjen Pol Drs Wahyu Widada pada saya ketika bersama sama melihat langsung pabrik narkoba di Badung, Bali.
Fredy misalnya dilaporkan dalam 408 laporan polisi terkait banyak kejahatan, sejak peredaran narkoba hingga pencucian uang. Kaki tangan Fredy yang berhasil diringkus memang sudah ratusan. Jaringan ini melibatkan penegak hukum hingga pesohor di banyak negeri. Kerja sama operasi dibangun dengan polisi negeri negeri serumpun. Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Brigjen Pol Mukti Juharsa terbang ke Malaysia untuk menangkap Kif, salah satu kaki tangan Fredy. Dua pekan kemudian, Wakil Direktur Narkoba Polri, Komisaris Besar Jayadi terbang ke Thailand untuk menangkap Stefan Antony, orang dekat Fredy yang lain.
Di Indonesia, polisi menangkap Adelia dan suaminya David Khadafi di Palembang. Nur Utami dan Saru ditangkap di Makassar. Mantan Kepala Satuan Narkoba Polres Lampung Selatan AKP Andri Gustami juga diringkus. Belum lagi sejumlah selebgram lain, seperti Zul Zivilia yang diduga mengetahui modus operandi cuci uang Fredy Pratama.
Fredy menggurita karena memiliki asset asset yang gemuk dan likuid. Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan telah membekukan 606 rekening pelbagai nama yang diduga bagian dari sindikat Fredy Pratama. Saat dibekukan, rekening rekening itu berisi total Rp 45 miliar. Fredy juga dilaporkan mengelola sejumlah asset tak bergerak yang kini telah disita aparat hukum. Di Banjarmasin, polisi menyita restoran Shanghai Palace, penginapan Mentaya Inn, Baluga Café and Lounge.
Tidak bisa tidak, bandar narkoba yang kini disebut tengah bersembunyi di hutan Thailand harus diisolir dari sejumlah asset assetnya. Memiskinkan bandar narkoba, sehingga gerakannya semakin terbatas adalah salah satu cara menangkap Fredy. “Kita harus berani miskinkan Fredy Pratama,” lanjut Wahyu Widada.
Pengungkapan pabrik narkoba di Bali oleh Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri layak diapresiasi. Bali kita tahu sejak lama memang selalu jadi incaran jaringan narkoba internasional sebagai tempat memasarkan narkoba-narkoba jenis baru. Di kawasan Seminyak, Canggu, Kuta yang bertaburan tempat hiburan malam, “produk-produk” narkoba baru itu pertama kali dikenalkan pada turis-turis yang selalu haus akan pengalaman berbeda.
Berdasarkan data Badan Narkotika Provinsi Bali pada 2023 secara rata-rata nilai transaksi narkoba di Bali setiap tahunnya mencapai lebih dari Rp. 2 triliun. Dengan jenis narkoba yang paling banyak di konsumsi di Bali, jenis sabu-sabu.
Saya cemas dalam suasana pariwisata yang berderak kembali setelah sempat “mati suri” selama pandemi, masyarakat jadi terlalu silau dengan gemerincing dollar. Dalam situasi gagap, apapun diserahkan untuk mengais dolar sehingga hal hal yang besar pun ikut di korbankan. Walhasil, pura, pantai, gunung, tata kota di Bali yang telah diatur dalam kosmologi yang indah dicemarkan oleh ulah turis yang hanya ingin menggali keuntungan sesaat dari pariwisata. Bali saya rasa tidak membutuhkan wisatawan asing model Ivan Volodod dan Mykyta Volodod yang dengan kekuatan uangnya dengan leluasa mengubah villa indah menjadi pabrik narkoba. (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)