Pojok KC, Memahami Politik, Memahami Sepak Bola.
Sumber :
  • tim tvonenews

Memahami Politik, Memahami Sepak Bola

Selasa, 18 Juni 2024 - 12:32 WIB

DI ANTARA sejumlah krisis yang melanda Indonesia belakangan kita patut bersyukur masih memiliki hiburan kolektif: Timnas Indonesia. 

Rupiah merosot, ada wacana sensor pada konten industri penyiaran, bayangan Dwifungsi TNI yang coba dihidupkan lagi lewat RUU TNI Polri, pemberantasan korupsi yang jalan di tempat karena komisioner KPK justru saling berkelahi dengan sesama koleganya, krisis lingkungan dan perubahan iklim yang kian nyata karena obral izin usaha pertambangan, seperti sejenak teralihkan ketika melihat Rizky Ridho dan kawan kawan berlaga di lapangan rumput, pekan lalu.

Seorang teman usai Timnas Indonesia mengalahkan Timnas Filipina dalam kualifikasi Piala Dunia 2026 mengirim pesan singkat, “Ternyata begini rasanya memiliki timnas sepak bola. Kita sejenak lupa pada masalah masalah bangsa.” Saya hanya menjawab pendek, ”Apalagi jika timnas kita berlaga di Piala Dunia 2026, Bro.”

Saya memang tidak sedang basa basi. Saya melihat langsung kegembiraan bersama itu di Stadion Gelora Bung Karno, beberapa meter saja dari kursi duduk Presiden Jokowi, sepanjang laga kualifikasi Piala Dunia 2026.

Saat itu seluruh warga seperti diikat imajinasi bersama tentang keindonesiaan. Dari mulai rakyat jelata hingga presiden bersorak sorai ketika dua gol bersarang ke gawang Filipina sekaligus menandai sejarah Indonesia melaju ke babak ketiga kualifikasi Piala Dunia untuk pertama kalinya setelah kemerdekaan.

Kemenangan yang tak hanya menghidupkan kembali asa Timnas Indonesia tetap berada di zona Piala Dunia, tetapi juga bisa berlaga di Piala Asia 2027 di Arab Saudi tanpa ikut kualifikasi.

Yang paling penting adalah kemenangan itu merawat mimpi kita berlaga di Piala Dunia. 

Dalam sejarah sepak bola, Indonesia memang pernah jadi wakil benua Asia satu satunya dan pertama kalinya di ajang tertinggi kompetisi sepak bola antarnegara itu. 

Namun, itu terjadi pada 1938 ketika Indonesia masih dalam penjajahan Belanda. Dan saat itu kita meraihnya tak melalui babak kualifikasi seperti saat ini. 

Dunia saat itu tidak sedang tidak baik baik saja. Perang masih berkecamuk di Eropa, banyak negeri negeri kuat dalam sepak  bola, seperti Inggris, Spanyol, Italia, Austria absen dengan alasan kecamuk perang.

Sementara Argentina dan Uruguay memboikot karena merasa harusnya kejuaraan itu diselenggarakan di Amerika Latin bukan di Perancis.

Dan timnas Hindia Belanda langsung berhadapan dengan tim kuat Hongaria di Stade Velodrome, Reims pada 5 Juni 1938. Ditatap oleh 9000 penonton, Hindia Belanda hanya mampu melawan sepanjang  12 menit pertama, sisanya adalah pembantaian: gawang Bing Mo Heng kebobolan enam gol tanpa balas, salah satu skor terbesar di Piala Dunia saat itu. 

Kini, setelah 86 tahun harapan itu seperti kembali menyala.  Meski tak mudah, impian itu sebenarnya bukan tak menjejak tanah. Menjadi runner-up Grup F dengan meraih 10 poin, timnas Indonesia saat ini satu-satunya perwakilan dari Asia Tenggara yang melangkah ke babak ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026.

Meski di babak ketiga nanti timnas akan bersaing dengan 17 tim kampiun Asia, seperti  Qatar, Jepang, Korea Selatan, China, Korea Utara, Iran, Arab Saudi, Irak, Uni Emirat Arab, hingga Australia, tak ada yang tak mungkin dalam sepak bola. Di kejuaran dan kelompok umur yang berbeda, toh kita punya pengalaman mengalahkan tim tim raksasa Asia seperti Korea Selatan, Australia dan Yordania. 

Hanya, saat ini yang harus dijaga adalah tranformasi sepak bola di bawah komando Shin Tae-yong harus didukung semua pihak. Masih ada waktu tiga bulan untuk terus memoles kemampuan tim sebelum putaran ketiga berlangsung September mendatang. Harus ada dukungan politik yang lebih besar agar pencarian talenta baru dari liga domestik maupun dari naturalisasi terus berjalan, sebab kita tahu, kebijakan Shin memotong satu generasi terbukti sangat berdampak pada prestasi timnas Indonesia. 

Kenapa dukungan politik diperlukan? Karena sepak bola adalah cermin, kita bisa melihat lebih tajam segala macam kenyataan, harapan dan ketidakberesan yang ada dalam masyarakat. 

Jika politik berjalan adil, terbuka, demokratis dan mensejahterakan, timnas sepak bolanya akan penuh dengan prestasi.  Begitu juga sebaliknya, jika politik penuh dengan intrik dan kepalsuan, sepak bolanya bisa dipenuhi pengaturan skor dan kekerasan. 

Begitulah, ternyata kualitas sepak bola selalu sejalan dengan efektivitas kinerja pemerintahan. Penampilan Timnas sepak bola di Piala Dunia hanya sebagai ukurannya. 

Jurnalis politik dari Amerika Serikat, Franklin Foer dalam buku indah yang sudah diterjemahkan penerbit Marjin Kiri, Memahami Dunia Lewat Sepak Bola mengungkap dengan detil fakta fakta relasi sepak bola dengan pemerintahan sebuah negara. 

Gagasan Franklin jelas, ia menelisik jenis pemerintahan macam apa yang paling ampuh menaklukan Piala Dunia. 

Pertama, pemerintahan komunis, meski melahirkan tim yang kuat dan solid tapi faktanya tak pernah melahirkan negara yang meraih Piala Dunia. Negara negara komunis biasanya bisa tampil efisien di babak awal, tapi berguguran di perempat final. 

Permainan sepak bola negara komunis umumnya kaku, miskin improvisasi, terbaca dengan mudah oleh lawan. Ternyata ada faktor Lobanovsky, pelatih besar Uni Soviet dan Ukraina era 1970-1980an yang meyakini sains bisa menyuguhkan kebenaran-kebenaran mendasar tentang sepak bola. Kekakuan pendekatan hanya melahirkan atlet hebat di pelari dan senam. 

Sebaliknya negara negara fasis yang mengagungkan superiotas dan tujuan nasional. Rasa percaya diri, nasionalisme yang meluap luap, perasaan takut mengecewakan negerinya ternyata jadi bahan bakar yang efektif meledakkan tim negara negara fasis di Piala Dunia. Italia, Jerman, Hungaria hingga Brasil (dibawah rezim Getalio Vargas) sangat superior di Piala Dunia. 

Sayangnya penampilan negara negara fasis langsung anjlok begitu poros fasisme jatuh. 

Sejalan dengan fasisme, negeri negeri dengan pemerintahan junta militer juga ternyata cukup efektif membangun timnas dalam Piala Dunia. Sosok sosok militer kuat, ternyata berhasil membentuk upaya kolektif di sepak bola. Sejarah Brasil, Argentina, Paraguay, El Savador di Piala Dunia selama kepemimpinan junta membuktikan hal tersebut.  

Namun, bagi Foer, pencapaian negara fasis dan junta paling efektif sekalipun tak bisa menandingi konsistensi negeri negeri sosial demokrat, seperti Eropa Barat di ajang Piala Dunia. Akar negara sosial demokrat pada kekuatan industri ternyata sangat subsantif bagi pembangunan timnas sepak bola yang efektif di Piala Dunia. Industri memasok proletariat urban bagi pemain dan penonton dalam sebuah kompetisi sepak bola yang sehat. Pendapatan dan kekayaan industri membiayai klub, menggerakan liga liga domestik yang sangat kompetitif. 

Dalam iklim sepak bola semacam ini tak ada pilihan lain bagi pemain untuk bisa bertahan selain terus menerus memperbaiki keahlian. Hasilnya adalah pertautan yang indah antara individualism, sambil mengembangkan permainan kolektif sepak bola modern. 

Dengan sistem ini, negara sosial demokrat yang paling payah seperti Belgia atau Finlandia sekalipun prestasi timnas sepak bolanya sangat konsisten di Piala Dunia. 

Demikian, sepak bola adalah cerminan kehidupan politik. Sebelas orang pemain timnas di lapangan hijau menggambarkan dengan jitu banyak hal pada bangsa tersebut. Pemerintahan yang efektif, menggugah, adil, terbuka dan demokratis akan menghasilkan kesebelasan yang percaya diri, bersemangat, pantang menyerah, bertarung habis habiskan di lapangan. Kita berharap timnas Indonesia melakukannya September  mendatang. (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
03:02
03:01
02:57
02:35
05:18
01:38
Viral