Pojok KC - Sri Paus dan Kesederhanaan.
Sumber :
  • tim tvonenews

Sri Paus Fransiskus dan Kesederhanaan

Senin, 9 September 2024 - 19:15 WIB

SRI PAUS FRANSISKUS datang ke Indonesia, namun laku hidupnya tiba-tiba kita sadari seperti sesuatu yang sangat jauh. Asing. Ia datang dengan pesawat komersial, lalu memilih menginap di salah satu kamar di Kedutaan Vatikan dan pekan lalu kita saksikan ia hilir mudik di jalan Jakarta dengan mobil rakyat, Kijang Zenith. Ia bahkan memilih duduk di sisi pengemudi, dengan santai melambaikan tangannya ketika ada warga yang menyambutnya di pinggir jalan. Dan…astaga, ia mengenakan jam tangan Casio seharga Rp 100 ribu.

Sri Paus terasa otentik karena laku kesederhanaannya adalah kebiasaan sehari-hari. Sejak terpilih jadi pemimpin agama katolik dengan umat 1,39 miliar, ia tak mau tinggal di Istana Apostolik yang mewah menghadap ke Lapangan Basilika Santo Petrus di Vatikan, tapi hanya tinggal di sebuah kamar  sempit dan apek di wisma tamu Casa Santa Martha yang memiliki 120 kamar.

Sebelum ia pindah ke Roma karena terpilih dalam sebuah konklaf dan voting yang rumit pada 13 Maret 2013, ia menelepon sendiri loper koran yang selalu datang mengantar surat kabar ke apartemennya yang kumuh di Buenos Aires, tempat ia mengurus sendiri semua pekerjaan sehari harinya di luar jabatan sebagai Uskup.

“Dia mengagetkan saya karena langsung menelpon agar langganan dihentikan dengan alasan kini dia menetap di Roma,” kata Daniel de Regno (36), yang mengantar koran ke kediaman Paus sejak 2005.

Di Argentina, Kardinal Jorge Mario Bergoglio dikenal bekerja seperti rahib. Sebagai Uskup Agung Buenos Aires ia memilih tinggal di apartemen, menolak tinggal di rumah mewah keuskupan, ke mana mana selalu berjalan kaki, dan selalu duduk di bangku paling belakang Gereja Katedral setempat saat berdoa.

Saat terpilih sebagai Paus, komentar pertama Paus Fransiskus adalah meminta warga Argentina tidak ke Roma untuk menyambut pentahbisannya sebagai pemimpin umat katolik. Ia justru meminta uang tiket pesawat diberikan pada fakir miskin di Argentina. Saat terpilih, L’Osservatore Romano, surat kabar resmi Vatikan menyebut Paus Fransiskus sebagai simbol perubahan.

Demikian, teladan kesederhanaan Sri Paus di sini tiba tiba jadi sesuatu yang aneh dan asing. Terutama ketika anak-anak penggede biasa ke mana mana naik jet pribadi, berbelanja tas dan pakaian mewah di butik butik luar negeri, lalu memasukan puluhan gembolan barang belanjaan ke deretan mobil mobil mewah tanpa melalui pemeriksaan petugas pajak atau imigrasi.

Jika Kardinal Bergoglio menjual saham keuskupan agung Buenos Aires di  banyak bank dan mengubah rekeningnya menjadi rekening nasabah biasa,  yang membuat gereja dipaksa menerapkan disiplin fiskal dan pejabat gereja dipaksa hidup sederhana, pemimpin pemimpin agama di Republik terbiasa mengeluhkan asset dan kas yang kian minim, lalu nyadong pada pihak penguasa, meminta ikut mengekstrak hasil kekayaan alam dan meminta izin konsesi tambang.

Kenapa kesederhanaan seolah bukan tradisi kita? Kenapa kesederhanaan kini seolah tak akrab? Kita punya pemimpin partai politik dan Perdana Menteri yang hingga akhir menjabat tak memiliki rumah pribadi. Mohammad Natsir, pemimpin partai Masyumi selalu hidup menumpang dan berpindah pindah. Saat jadi Menteri Penerangan di masa Perdana Menteri Sutan Syahrir, Natsir sekeluarga tinggal di rumah sahabatnya sesama petinggi Partai Masyumi: Prawoto.

Sewaktu pusat pemerintahan pindah ke Yogyakarta, keluarga Natsir tinggal di pavilyun milik Haji Agus Salim di Jalan Gereja Theresia. Ketika menjadi Perdana Menteri, keluarga Natsir menempati rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur.
Pakaian Natsir sebagai perdana menteri membuat rishi orang sekitarnya. Indonesianis dari Universitas Cornel, George Mc Turnan Kahin dalam buku Natsir 70 Kenang Kenangan Kehidupan dan Perjuangan menulis saat menjabat sebagai Perdana Menteri, Natsir hanya memiliki dua kemeja, itupun sudah kusam. Ia pergi ke manapun menggunakan jas yang penuh tambalan. Kahin diberi informasi, staf Kementerian Penerangan sampai harus mengumpulkan uang agar pakaian Natsir layak disebut sebagai Menteri.

Salah satu kader Natsir di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Yusril Ihza Mahendra menyebut, ketika memimpin DDII pada masa Orde Baru, Natsir selalu memakai pakaian yang itu itu saja ketika datang ke Jalan Kramat Raya, kantor DDII. “Kalau tidak baju putih yang di bagian kantornya ada noda bekas tinta, kemeja lain adalah batik berwarna biru,” tulis Yusril dalam buku Natsir, Politik Santun di Antara Dua Rezim.

Saat menjabat sebagai Perdana Menteri Natsir menolak mobil dinas. Ia kemanapun memilih mengendarai mobil pribadinya yang sudah kusam, bermerek DeSoto. Godaan untuk menjadi materialis bukan tak ada. Suatu kali seorang tamu dari Medan datang ke rumah Natsir dan memarkirkan mobil Chevrolet Impala di halaman. Sang tamu rupanya kesal dan risih dengan mobil tua yang selalu dipakai Natsir yang disebutnya,  tak mencerminkan simbol pemimpin partai Islam terbesar di Indonesia. Tentu saja Natsir dengan tegas menolak.

Sekretaris Natsir ketika jadi Perdana Menteri, Maria Ulfa mengungkap hal yang bisa mustahil terjadi di era sekarang. Ketika mengundurkan diri sebagai PM, Natsir menolak dana taktis yang sebenarnya jadi miliknya. Ia memberikan seluruh dana itu untuk koperasi karyawan. Setelah mundur, Natsir seperti orang yang tak kehilangan apapun, ia pulang ke rumah dengan membonceng sepeda bekas sopirnya.

Ketika Republik masih muda, teladan seperti yang dipraktekan Sri Paus dan  Muhammad Natsir sebenarnya cukup banyak.

Kita tahu Mohammad Hatta, sang proklamator Republik itu, hingga akhir hayatnya  tak mampu membeli sepatu Bally yang sangat diidam idamkan. Ia begitu terobsesi hingga menggunting potongan iklan sepatu Bally dan menempatkannya di sela sela buku yang ia baca. 

Hingga akhir hayatnya, Bung Hatta hanya memiliki harta berupa  tumpukan buku buku. Buku pula yang menjadi mas kawin saat ia meminang Rahmi Hatta pada 18 November 1945, sesuai janjinya baru akan menikah setelah Indonesia Merdeka.

Saat pensiun Bung Hata bahkan pernah tak bisa membayar tagihan rekening listrik dan PAM. “Bagaimana saya bisa membayar dengan uang pensiun saya,: ujar Hatta lewat surat kepada Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin.

Sahabat Hatta, Soekarno juga pernah menjual mobil pribadinya untuk pembangunan Patung Dirgantara di Pancoran, Jakarta. Setelah lengser dari Presiden, Soekarno terus mencicil biaya pembuatan monument dari kocek pribadi, termasuk menjual mobil kesayangannya Buick seri 8. Hingga Bapak Bangsa ini meninggal dunia pada 1970, hutang itu belum terlunasi pada sang pembuat patung Edhi Sunarso. Saat iring iringan jenazah Soekarno lewat di Jalan Gatot Subroto, Edhi Sunarso masih berada di atas Tugu Patung Dirgantara. “Saya menangis sesenggukan di atas tugu,” ujar Edhi Sunarso seperti yang ditulis dalam buku Meniti Jalan Pembebasan.

Kini ketika Sri Paus melawat ke Indonesia, kita melihat laku hidup sederhana seperti sesuatu yang asing dan jauh, kita telah lama melupakan mutiara mutiara kehidupan di masa lampau, terbenam oleh lumpur peradaban komersialisme dan materialisme. Ecep Suwardaniyasa Muslimin

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
01:54
03:55
05:35
03:29
06:33
02:13
Viral