- pssi
Ulasan Sepakbola: “Televisi dan Sepakbola, Begini Dalilnya…”
Oleh: Reva Deddy Utama*
Bagi televisi (TV), pertandingan sepakbola itu program primadona. Sepakbola menjamin TV mendapat rating - jumlah penonton - tinggi. Pada 2022 hingga hari ini, dari 10 besar program TV peraih rating tertinggi, sembilan menayangkan program sepakbola nasional. Satu-satunya program yang bisa menandingi hanya sinetron “Ikatan Cinta” yang menempati urutan enam.
Itu hasil survei AC Nielsen, lembaga resmi industri TV nasional. Bila dirangking, rating sepakbola paling tinggi adalah partai tim nasional Indonesia, khususnya bila melawan Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Menyusul Liga Indonesia (Ligina), kemudian Piala Dunia, baru Liga Inggris.
Anda, para pembaca, atau penonton televisi, mungkin kurang percaya, bahwa rating sepakbola nasional mengalahkan rating Piala Dunia dan Liga Inggris. Begini dalilnya. Penonton Piala Dunia dan Liga Inggris adalah para lelaki yang hobi atau penggila sepakbola alias bolamania.
Penonton Timnas lebih luas. Bila Indonesia vs Malaysia atau vs Vietnam, begitu pula Persib vs Persija, atau kedua tim itu vs Persebaya, maka yang nonton ialah keluarga: bapak, emak dan anak putra-putri, bahkan kakek-nenek pun ikut nonton. Itu bukan pendapat saya, tapi data survei AC Nielsen.
Harga Mahal Hak Siar
Pembaca, tadinya sepakbola bukan primadona, substansinya sekadar program alternatif. TV mulai marak menayangkan sepakbola pada awal 1990-an, seiring dengan tumbuhnya TV swasta. Semua bermula pada 1994, ketika PSSI (cq PT Liga) meluncurkan Liga Dunhill, menyusul Liga Mandiri.
Ketika itu, tak ada hak siar atau TV rights. PSSI justru membayar televisi untuk menayangkan Ligina maupun tim nasional. Barternya: PSSI mendapat beberapa spot iklan untuk sponsornya. Alhasil, selain mendapat uang dari PSSI dan iklan, TV juga memiliki materi rekaman pertandingan. Jadi, TV meraih keuntungan double.
Model bisnis (semi-blocking time) berlangsung hingga 2005. Pada 2006, PSSI mengubah sistem, sejalan dengan peluncuran konsep industri sepakbola, PSSI tidak lagi membayar, tapi justru menjual hak siar Liga dan tim nasional. Pihak TV sempat jual mahal tapi, karena sepakbola punya magnet, akhirnya menurut.
Stasiun antv - televisi sport nomor satu saat itu - menang tender. Proposalnya fantastis, kontrak 10 tahun seharga Rp100 milar rupiah, dan bayar kontan di depan. Proposal antv mengalahkan TV lain, seperti RCTI, MNC, dan Lativi. Tapi RCTI dapat hak siar Timnas. Stasiun SCTV dan INDOSIAR belum tertarik pada sepakbola, tidak ikut tender.
PSSI hanya menjual hak siar Liga, sedangkan biaya produksi untuk 306 pertandingan di berbagai stadion di seluruh Indonesia, sekitar Rp60 miliar, ditanggung antv. Jadi sesungguh harga kompetisi sekitar Rp70 miliar, sehingga biaya satu pertandingan (ditambah studio cost) sekitar Rp250 juta.
Sekarang, harga Liga Indonesia sudah melambung hingga tiga kali lipat. Liga 1 BRI 2022 berharga kisaran Rp200 miliar, yang mencakup hak siar dan biaya produksi atau satu laga berharga sekitar Rp700 juta. Harga hak siar tim nasional lebih mahal, mencapai Rp1,5 sampai 2 miliar rupiah.
Harga itu mengalahkan satu episode sinetron kelas A atau film box office Holywood sekalipun. Tak heran, bila yang punya kemampuan membeli laga Liga maupun Timnas cuma Emtek Grup (SCTV, INDOSIAR, O'Channel, Vidio) atau MNC Grup (RCTI, MNCTV, GlobalTV, Inews, MNC Vision).
Sepakbola Proyek Rugi
Lantas apakah TV yang menayangkan Liga Indonesia untung? Saya meyakini, sejak 2006 hingga sekarang, tak ada TV yang untung. Siaran Liga itu proyek rugi. Tapi kenapa Emtek menggenggam erat-erat, sementara MNC terang-terangan mengincar. Semata demi rating dan image bagus, bukan karena cuan.
Rating tinggi membuat posisi TV nomor satu. Itu memperbaiki citra dan meningkatkan value perusahaan. Sebulan lalu, TV nomor satu adalah RCTI. Juli 2022, INDOSIAR menyalip karena menayangkan secara berturut-turut sepakbola Piala Presiden dan Timnas U-19 Piala AFF.
Pertanyaan: kenapa proyek rugi? Rating ‘kan tinggi, harga iklan bisa mahal, iklan pun pasti penuh? Betul sekali. Tapi begini dalilnya. Sepakbola itu slot waktunya 120 menit (dua jam), durasi iklan utama hanya sekitar 10 menit, yakni pada half time yg diselingi analisis komentator. Dengan durasi 10 menit, otomatis inventori iklan cuma 20 spot (satu spot iklan berdurasi 30 detik).
Dengan harga Rp700 juta, dengan potensi iklan cuma 20 spot, berarti satu spot mesti dijual di atas Rp35 juta. Itu mustahil, jauh di atas harga pasar. Sebab rata-rata harga per spot iklan di TV kita paling tinggi ialah Rp25 juta, dengan tradisi diskon sampai 30 persen.
Beda dengan pasar dan potensi sinetron. Ambil umpama, harga Rp300 juta. Slot tayangnya 60 menit, dan 25 menit di dalamnya bisa disisipkan iklan, sehingga inventori iklan 50 spot. Kalkulasinya: kalau menayangkan sinetron, cuannya bisa 4 kali lipat lebih banyak daripada siaran sepakbola.
Siasat Jam Tayang
Nah, agar tidak rugi, maka TV bersiasat mengatur jam tayang. Sebisa mungkin, sepakbola jangan tayang pada prime time, pukul 18:00-20:00 WIB, yang merupakan lumbung sumber uang. Pada jam itu, lebih bagus menayangkan sinetron, harga lebih murah, potensi cuannya lebih banyak, dan bisa menutupi kerugian dalam siaran sepakbola.
Itulah mengapa, belakangan ini, jadwal Piala Presiden maupun Timnas di atas pukul 20:00 atau sore hari sebelum pukul 18:00 WIB, yang tak lagi berada di zona prime time. Kabarnya jadwal Liga Indonesia pun demikian. Protes pun berdatangan. Tapi itulah risikonya, bila sepakbola masuk industri, hukum pasar yang berlaku.
Sekadar informasi, fenomena waktu kick off yang sesuai dengan permintaan pasar terjadi di mana-mana. Lihat Premier League Inggris, La Liga Spanyol dan Serie A Italia, ada yang waktu kick off-nya pukul 12:00 atau 13:00 siang waktu setempat. Bahkan Piala Dunia pun, sering waktu kick off-nya pada siang hari bolong. Tujuannya hanya untuk menjaring pasar Asia.
Semoga tulisan ini sedikit menjawab kegelisahan para penggemar sepakbola, atau meredakan protes klub-klub, yang keberatan atas waktu kick off, Liga Indonesia musim 2022-2023 mendatang, yang kabarnya pertandingan akan banyak tayang di atas pukul 20:00 WIB.
*Penulis: Reva Deddy Utama (pemerhati sepakbola dan pekerja televisi)