- VivaNews/ Nurcholis Lubis
Pilpres 2024, Politikus Tanpa Kehormatan dan Tragedi Yunani
Hari-hari setelah wacana itu di lontarkan suhu politik langsung panas. Ada perlawanan dari para aktivis yang militan, pakar hukum, para intelektual, melawan pikiran sesat orang dalam Istana itu.
Wacana itu sesaat kemudian mengendur, dikendurkan oleh Jokowi sendiri yang setelah didesak pelbagai kalangan, menyangkal wacana itu menjadi cita-citanya. Tetapi pernyataan itu rasanya bersifat politis, sesaat hanya untuk meredakan kegaduhan.
Belakangan kita menyaksikan gerakan "3 periode" atau "perpanjangan 3 tahun" belum lenyap sama sekali. Gerakan yang menurut informasi memang sudah dirancang sejak lama. Disuarakan secara terang-terangan maupun terselubung. Terus terang, sedih kita mendengar selentingan kabar bahwa wacana penambahan periode jabatan presiden sudah mengemuka di lingkungan Istana pada tahun 2019, tidak lama setelah Jokowi memenangkan Pilpres. Tiga bulan sebelum pelantikan untuk periode kedua.
Jejak hilangnya kehormatan politikus kita sebenarnya sangat nyata dalam pelbagai manuver. Daftarnya sudah panjang. Sebut saja produknya yang kontroversial: UU Omnibuslaw, UU IKN, penunjukkan pejabat atau penjabat 271 kepala daerah, sampai RUU KUHP. Seluruhnya lebih tentang mereka (kepentingan kekuasaan) dan bukan tentang demokrasi, tentang rakyat.
Paling Mutakhir: Tolak Capres Non Parpol
Paling mutakhir manuver dalam format baru muncul lagi, di bahas di Kabar Petang tvOne, minggu lalu. Pengurus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terang terangan mengaku menggalang suara di parlemen untuk menolak capres maupun cawapres yang bukan kader parpol. Itu ditegaskan Wakil Ketua Umum Pemenangan Pemilu PKB, Jazilul Fawaid.
Jazilul Fawaid menyitir pasal mengenai pencalonan capres dan cawapres dalam UU Pemilu sebagai dasar pemikirannya. Padahal, pasal itu terang benderang bunyinya "calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu". Tidak ada keharusan calon harus kader parpol. Artinya akan ada agenda mengubah UU Pemilu lagi.
Tampaknya pikiran sesat ini bersumber pada rendahnya penerimaan masyarakat terhadap ketum-ketum parpol walau sudah bakar-bakar uang membuat baliho, konten-konten video, pencitraan tiada tara dalam penampakan di depan publik. Kecuali Prabowo, semua ketum parpol yang berhak mengusung capres dan cawapres memang tidak memiliki nilai jual dan akseptabilitas di mata rakyat. Berbanding terbalik dengan tokoh non kader parpol seperti Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo (yang tak diakui PDP-P), yang moncer di berbagai survey. Mereka ini rupanya yang mau dijegal.