Remy Sylado.
Sumber :
  • Antara

Secangkir Kopi Susu Terakhir Remy Sylado

Rabu, 14 Desember 2022 - 13:40 WIB

Jakarta - Remy Sylado berpulang Senin (12/12) pagi. Indonesia kehilangan lagi salah satu seniman terbaiknya. Seniman yang juga dikenal sebagai Polyglot karena penguasaan dan kemahirannya berbicara, menulis, atau membaca dalam banyak bahasa asing. Yang paling mengagumkan, mendiang juga pembelajar yang cepat. Setelah novel Ca Bau Kan, karyanya yang berlatar etnik Tionghoa difilmkan, ia hanya perlu waktu tiga bulan belajar bahasa Mandarin untuk menguasai bahasa paling sulit di dunia itu. 

"Banyak undangan diskusi soal Ca Bau Kan yang diselenggarakan masyarakat Tionghoa di dalam dan di luar negeri. Malu saya kalau tidak menguasai bahasa itu," katanya suatu hari memberi alasan.

Polyglot itu mengembuskan nafas terakhir Senin (12/12) pagi di rumahnya, meninggalkan seorang istri, Emmy Tambayong, dua anak dan satu cucu. Saat diminta memberi sambutan mewakili rekan wartawan dan insan perfilman di acara pemakamannya, saya menyinggung soal "kekayaan" dan warisan berharga Remy yaitu mahir berbicara, menulis, atau membaca dalam banyak bahasa asing.
  
Serre Battang 

Kami berkenalan sekitar setengah abad lalu. Saya masih penyiar radio amatir di Jakarta dan Remy Sylado sudah menyihir anak-anak muda se Indonesia dengan puisi-puisi mbelingnya dari Bandung. Sejak perkenalan itu, kami langsung akrab. Ada kedekatan "emosional" sesama perantau dari satu pulau, Sulawesi, lebih dari sekedar sesama wartawan dan sama-sama berkecimpung di dunia kesenian.

Remy besar di lingkungan keluarga Tambayong di Malino, daerah pegunungan (60 km dari Makassar). Tak heran jika fasih berbahasa Makassar. Maka itu, setiap kali bertemu Remy lebih tertarik bercakap dengan bahasa Makassar. Pengetahuannya mengenai bahasa Bugis Makassar sangat mendalam. Ia bahkan pernah mengoreksi saya karena menyebut kata Sari Battang untuk kata bersaudara dalam bahasa Makassar. Yang benar, kata Remy adalah Serre Battang (satu rahim) untuk saudara kandung. Remy meyakinkan itu bukan kesalahan saya saja. Sejauh pengamatannya sebagian besar orang Bugis-Makassar terutama yang tinggal di kota-kota besar Indonesia mengacaukan arti sari battang yang mestinya serre battang 

Jejak digital hidup Remy adalah jejak perjalanan pelurusan atau koreksi pada banyak hal terutama soal yang berkait agama dengan kesenian. Temuannya yang tak terbantahkan pada praktek plagiarism dalam karya musisi besar yang menggubah beberapa lagu kebangsaan kita. Satu lagi cerita soal itu. Dia pernah diminta seorang pejabat tinggi negara yang punya hobby membuat lagu menjadi supervisornya. Namun, tugas itu tidak berlanjut lantaran Remy bersikukuh pada pendapat lagu-lagu sang pencipta adalah plagiarism.
  
Remy ekstrim dalam meletakkan orisinalitas dan kejujuran sebagai parameter menilai sebuah karya seni. Lihat saja ketika dia menulis dan mementaskan drama musikal "Jesus Christ " di Istora. Jesus dicreatenya berkulit hitam dan mengayuh becak di atas pentas. Jelas, ia ingin menegaskan tafsirnya, sejurus dengan keliaran imajinasinya, Jesus dibuatnya sebagai manusia manusia biasa dari sumber kehidupan masyarakat marginal. Itu sekaligus manifesto prinsip Remy sendiri, dia ada di posisi orang banyak, dekat di nadi rakyat. Tidak mengikuti  kegandrungan sebagian seniman terkenal kita yang memilih berumah di "menara gading". Berbeda dengan casing sehari-harinya Remy selalu tampil parlente, necis, kemeja warna menyala, pantalon dan sepatu warna senada, putih. Tapi saya harus stop uraiannya mengenai itu karena ruang seluas apapun tak cukup untuk menampung telaahnya.

Japi Tambayong 

Berita Terkait :
1
2 3 4 Selanjutnya
Topik Terkait
Saksikan Juga
03:06
03:53
01:00
01:02
01:01
05:31
Viral