- Instagram Fadli Zon
Komentar Fadli Zon soal Gagalnya Indonesia jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20: FIFA Itu …
Jakarta, tvOnenews.com - Politisi nasional Fadli Zon ikut angkat bicara soal gagalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 pada Kamis (30/3/2023).
Fadli Zon mengawali keterangan tertulisnya dengan mengulas pemilihan kata yang digunakan FIFA dalam membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.
“(Frasa) ‘situasi terkini’ yang dimaksud FIFA tak jelas dan terkesan menutupi apa yang dimaksudnya,” tulis Fadli Zon dalam keterangan pers yang diterima tvOnenews.com, Kamis (30/3/2023).
Salah satu situasi terkini bisa saja soal ramainya penolakan dari berbagai kalangan di Indonesia atas kedatangan timnas Israel U-20 ke Tanah Air.
“Sebagai organisasi sepakbola sejagat, FIFA mestinya bisa mengakomodasi kepentingan semua negara,” kata Anggota Komisi I DPR RI itu.
“Termasuk memahami bahwa bagi sejumlah negara terutama sebagian negara muslim, Israel bukan hanya sekadar isu olahraga, melainkan merupakan isu politik dan kemanusiaan yang serius,” imbuhnya.
Maka dari itu, menurut Fadli Zon, tidak seharusnya FIFA menempatkan atau memaksakan aturannya pada posisi yang lebih tinggi daripada aturan hukum, bahkan konstitusi sebuah negara.
Membela kepentingan Israel, sembari mengabaikan aspirasi negara-negara lain yang punya garis politik tegas terhadap Israel membuat FIFA dinilai memiliki standar ganda dalam politik sepak bola.
Setidaknya terdapat dua alasan mengapa FIFA dianggap menerapkan standar ganda menurut Fadli Zon, sebagai berikut:
Pertama, FIFA dan UEFA tak konsisten dengan larangan politisasi sepak bola seperti ketika menjatuhkan sanksi pelarangan terhadap tim nasional serta klub Rusia untuk tidak berpartisipasi dalam semua kompetisi di bawah FIFA dan UEFA.
Kedua federasi itu juga melarang klub dan timnas Belarusia untuk melakukan pertandingan di kandang sendiri sebagai sanksi atas dukungan mereka terhadap Rusia dalam perang Ukraina,
“Apakah itu bukan pelarangan yang bersifat politik?,” tanya Fadli Zon.
FIFA berteriak nyaring atas serangan Rusia terhadap Ukraina, namun menutup mata terhadap penjajahan serta politik apartheid yang dilakukan oleh lsrael terhadap bangsa Palestina.
“Apakah pilihan sikap itu tidak bersifat politis?,” tanya Wakil Ketua Umum Gerindra itu kembali.
“Jadi, sejak kapan sepakbola bisa dipisahkan dari politik? FIFA jelas berpolitik dan politik tebang pilih FIFA sangat nyata,” tambahnya.
Suka atau tidak suka, menurut Fadli Zon, sepakbola sebenarnya tak pernah bisa dipisahkan dari soal politik.
“Olahraga ini, yang bisa menghimpun jutaan massa dan miliaran penonton, memang bisa jadi panggung politik strategis,” ujarnya.
Maka dari itu aturan yang menuntut agar kita tidak mencampuradukkan urusan olahraga dengan politik adalah aturan yang tidak masuk akal. Terutama, karena FIFA sendiri terbukti tak mentaatinya.
Kedua, FIFA menuntut semua negara agar berlaku fair (adil) terhadap atlet Israel, padahal menurut Wakil Presiden Liga Parlemen Dunia untuk Palestina itu Israel sendiri tak pernah berlaku fair terhadap atlet dan dunia olahraga Palestina.
“Bukan rahasia lagi militer Israel sejak lama telah menjadikan bidang olahraga serta para atlet Palestina sebagai target serangan mereka,” katanya.
Dua alasan itu sudah cukup menunjukkan selama ini FIFA telah berlaku tidak fair dan menerapkan standar ganda dalam kebijakan sepakbola.
Pencoretan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023 memang dalam jangka pendek merugikan dunia sepak bola di tanah air.
“Namun, di luar soal itu, dengan pencoretan ini kita sebagai bangsa sebenarnya tidak kehilangan muka,” tegasnya.
“Jika kita tetap harus menerima kedatangan para atlet Israel, kita sebenarnya telah merendahkan konstitusi serta garis politik luar negeri di bawah aturan FIFA,” imbuhnya.
Indonesia adalah negara pertama di dunia yang pernah memboikot keikutsertaan Israel dalam ajang olahraga.
Sebagai tuan rumah Asian Games IV tahun 1962, Indonesia dengan gagah menolak kedatangan delegasi Israel dan hingga saat ini masih berkiprah di dunia internasional.
Israel sendiri telah menjadikan olahraga termasuk sepak bola sebagai alat diplomatik untuk memutihkan praktik diskriminasi, pelanggaran HAM, serta kejahatan perang yang mereka lakukan terhadap rakyat Palestina.
“Sehingga, jika sampai atlet Israel diterima masuk ke Indonesia, yang merupakan negara muslim terbesar di dunia, ini akan jadi kemenangan diplomatik buat mereka, sekaligus kerugian besar buat kita,” tegas Fadli Zon.
Sejak berdiri tahun 1948, Israel telah melakukan perampasan tanah secara besar-besaran dan kejam terhadap warga Palestina.
Perampasan, pemindahan, serta pembantaian warga Palestina di rumah mereka sendiri adalah pilar penting pemerintahan apartheid Israel. “Itu adalah bentuk kejahatan kemanusiaan,” terangnya.
Pada tahun 2022, Amnesty International menyampaikan bahwa pihak berwenang Israel harus dimintai pertanggungjawaban karena melakukan kejahatan apartheid terhadap warga Palestina.
Penyelidikan Amnesty International sudah merinci bagaimana Israel memberlakukan penindasan terhadap rakyat Palestina.
Dalam laporan setebal 182 halaman itu, yang berjudul “Israel’s Apartheid Against Palestinians: Cruel System of Domination and Crime Against Humanity” (Apartheid Israel terhadap Palestina: Sistem Dominasi dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang Kejam).
Di sana, terekam lengkap bagaimana politik perampasan tanah dan properti secara besar-besaran, serta pembunuhan di luar hukum yang dilakukan pemerintah Israel terhadap rakyat Palestina.
Atas temuan itu, Amnesty International telah menyerukan kepada Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk mempertimbangkan kejahatan apartheid ini dan menyerukan semua negara menjalankan yurisdiksi universal untuk membawa pelaku kejahatan apartheid ke pengadilan.
“Jadi, bagi Indonesia soal izin masuk bagi para pemain bola Israel itu memang bukan hanya semata persoalan olahraga, tapi soal prinsip,” tegasnya.
Tidak adanya solusi lain yang bisa diterima oleh FIFA, sehingga membuat Indonesia akhirnya kehilangan posisi sebagai tuan rumah menunjukkan bahwa organisasi sepak bola itu masih belum lepas dari standar ganda.
“FIFA hanya membela kepentingan Israel, tapi mengabaikan posisi dan pendapat negara-negara lain mengenai negeri penjajah tersebut,” pungkasnya.