Hitam Putih Manusia Silver | tvOne
Jakarta,- “Buat saya 'ga' ada kata malu. Hidup di Jakarta 'ga' usah ada malu bang. Kalau malu kita 'ga' bisa makan. Apa aja kita lakukan, yang penting bisa menghasilkan uang.”
Itulah celoteh Ugoh, si manusia silver yang ditemui di kawasan lampu merah Petojo Jakarta Barat, beberapa waktu lalu. Perempuan berusia 32 tahun ini mewarnai hampir seluruh tubuhnya demi mencari nafkah dalam setahun terakhir ini.
“Selalu ada yang ngasih, kadang ada yang ngasih, kadang engga. Yang penting kita ga maksa. Dikasih Alhamdulillah, ga dikasih ya udah,” jawabnya antusias, sambil sesekali tertawa mengibaratkan pepatah kejamnya ibu kota lebih kejam dari ibu tiri.
Ugoh, bukanlah satu-satunya orang yang berjuang mengais rezeki sebagai manusia silver di ibukota. Berdasarkan penelusuran tim jejak kasus tvOne, terdapat banyak komunitas yang melabeli diri mereka sebagai manusia silver.
Salah satunya adalah komunitas ‘silver koboy’.
Himpitan ekonomi selama pandemi menjadi alasan mereka rutin beraksi di pinggir jalan selama tiga bulan terakhir dengan tampilan mencolok.
Para personel ‘silver koboy’ ini awalnya adalah para sopir angkutan umum, yang kemudian banting stir demi mendapatkan rezeki tambahan. Pergolakan batin karena malu berperan sebagai manusia silver pun sempat dialami Adi dankawan-kawannya. Namun demi menghidupi keluarga mereka rela melakukannya.
“Awalnya dari kebutuhan, profesi awalnya semua sopir. Selama lock down, penghasilan berkurang, bahkan ga punya penghasilan. Akhirnya kawan kawan berinisiatif menjadi manusia silver. Awal awalnya kita canggung, mental down. Tapi begitu ada mobil yang kasih, naik lagi mentalnya,” kata Adi menjelaskan.
Tole, salah satu anggota komunits silver koboy menolak jika aktivitasnya disebut sebagai pengemis. Ia meyakini apa yang dilakukannya merupakan aktivitas berkesenian. “Engga, kita ga langsung minta-minta. Kita bikin gaya patung, beda dengan minta minta, tolong, kasihan. Kita ada seninya,” kata Tole.
Sejarah Human Statue
Menurut seniman Septian Dwi Cahyo, kemunculan para manusia silver ini berasal dari seni bernama human statue. Seni yang sarat nilai dan mampu menarik perhatian orang ini, berasal dari Jerman.
Awal mulanya, seni human statue ini dibawa oleh kelompok pantomime Sena Didi Mime. Sebuah kelompor teater pantomim yang didirikan oleh Sena A Utoyo dan Didi Petet, pada tahun 1987.
Konon kisahnya, setelah kelompok ini melakukan lawatan seni ke Jerman, Sena dan Didi petet kemudian memperkenalkan konsep manusia patung tersebut. “Dulu konsep human statue itu berwarna abu abu, orang yang dibentuk kaya patung, abu abu seperti semen,” ujar Septian menjelaskan.
Aksi para manusia silver dalam mencari nafkah yang berkembang belakangan ini, diapresiasi positif oleh Septian. Namun ia berharap para manusia silver menggunakan bahan atau zat yang aman bagi tubuh.
Uji Pewarna Tubuh
Meski nampak menarik, namun penampilan para manusia silver ini ternyata tak sepenuhnya aman. Karena zat yang mereka gunakan bisa jadi sangat berbahaya. Tim jejak kasus tvOne mencoba memeriksa kandungan pewarna yang digunakan para seniman jalanan itu ke laboratorium.
“Dari sampel yang kita uji coba, zat perak atau silver nya tidak terdeteksi. Tapi jelas yang namanya cat sablon itu bukan hanya perak saja. Mungkin warnanya seperti perak, dan kandungannya berisi komponen lain. Namanya komponen cat macam macam, pasti ada logam, bisa mengandung timbal, alumunium, bisa juga mengandung micromat atau chrom,’ papar Budiawan, Ahli Toksikologi Kimia Universita Indonesia.
Meski tak ditemukan kandungan logam pada pewarna yang kami uji, namun pemakaian dalam jangka panjang bukan berarti tanpa risiko. Dokter spesialis kult dan kelamin, dr. Heru nugraha, sp.kk mengatakan, idealnya pemakaian cat untuk kulit adalah tipe cat body painting. Sedangkan cat sablon yang biasa digunakan oleh manusia silver, peruntukannya untuk baju atau bahan kaos.
“Cat sablon tidak diperuntukan untuk kulit. Cat nya bisa menimbulkan dermatisis kontak, bisa dermatitist iritan, bisa dermatitis alergi. Kemudian dari pembersihnya, kalau pembersihnya dari sabun cuci piring, kemungkinan menimbulkan dermatitis kontak lagi,” kata Heru.
Pewarna tubuh yang jamak digunakan para manusia silver, cukup mudah dijumpai di pasaran. Toko bahan kimia ataupun perlengkapan sablon, umumnya menjual bahan itu. Tim jejak kasus pun mencoba mendatangi salah satu toko penjual perlengkapan sablon di kawasan Jatinegara Jakarta Timur.
Si pedagang mengaku sejumlah manusia silver kerap datang untuk membeli cat di toko mereka. “Kita jual buat sablon, banyak variannya. Kalau kata dia (manusia silver) gatal di badan,” kata pelayan toko yang enggan disebutkan namanya.
Di tengah himpitan hidup keberadaan manusia silver di jalanan acap dituding mengganggu ketertiban umum. Keberadaan mereka sebagai bentuk ekspresi dalam berseni juga dinilai minim apresiasi.
Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi DKI Jakarta Cucu Ahmad Kurnia mengklaim telah mengupayakan adanya pembinaan kepada para manusia silver. “Banyak seniman yang sudah kita fasilitasi, seperti di objek wisata kota tua. Tapi tentunya harus kami kurasi, tidak bisa sembarangan, karena malah merusak pemandangan,” kata Cucu.
(Lihat Juga: kisah keji pembunuh berantai)