MA 'Sunat' Vonis Hukuman Anas Urbaningrum, Atas Dasar Pertimbangan Apa? | tvOne

Kamis, 1 Oktober 2020 - 13:45 WIB

Jakarta – Mahkamah Agung (MA) memotong vonis mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam perkara penerimaan hadiah dari sejumlah proyek-proyek pemerintah menjadi 8 tahun penjara. Apa yang menjadi dasar pertimbangan MA?

Juru Bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro mengungkapkan isi putusan PK tersebut.

“Membatalkan putusan majelis hakim kasasi atau judex juris, kemudian MA menyelidiki kembali dengan menyatakan bahwa terdakwa Anas Urbaningrum terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara berlanjut sebagaimana dakwaan ke satu subsider dan menyatakan terdakwa Anas Urbaningrum tersebut secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan secara berulang kali sebagaimana dakwaan kedua,” kata Andi.

Majelis Hakim Agung Peninjauan Kembali yang menangani perkara Anas terdiri dari Sunarto sebagai Ketua majelis yang didampingi Andi Samsan Nganro dan Mohammad Askin (hakim ad hoc Tipikor) masing-masing sebagai hakim anggota.

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa atau terpidana Anas Urbaningrum tersebut dengan pidana penjara selama delapan tahun dengan denda sebanyak 300 juta rupiah, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan. Menjatuhkan pidana tambahan terhadap Anas Urbaningrum berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun terhitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok,” ujar Andi melanjutkan.

Anas sebelumnya dihukum 14 tahun penjara karena dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi. Namun Hakim Agung PK, menilai alasan permohonan PK pemohon/terpidana yang didasarkan pada adanya 'kekhilafan hakim' dapat dibenarkan.

“Permohonan peninjauan kembali dari Pemohon PK atas dasar kekhilafan hakim dapat dibenarkan oleh karena majelis hakim kasasi atau judex juris telah salah dalam menyimpulkan alat-alat bukti yang kemudian dijadikan sebagai fakta hukum tentang tindak pidana yang terjadi telah dilakukan Pemohon PK  atau terpidana sehingga atas dasar fakta-fakta hukum tersebut kemudian judex juris atau majelis hakim kasasi mengubah pasal dakwaan yang terbukti di tingkat judex facti dari pasal 11 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi menjadi pasal 12 huruf a UU pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” tutur Andi Samsan lagi.

"Judex juris" adalah majelis hakim yang ada di tingkat kasasi (MA) sedangkan "judex facti" adalah majelis hakim yang ada di pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi.

Menurut Andi Samsan, setelah majelis PK mencermati alat-alat bukti baik dari keterangan saksi-saksi maupun alat bukti lainnya, ternyata uang maupun fasilitas lain yang diterima oleh Anas baik melalui PT Adhi Karya maupun dari Permai Group adalah dihimpun dari dana-dana hasil perolehan keuntungan dalam proyek pengadaan barang dan jasa serta "fee" dari perusahaan lain. Karena perusahaan tersebut telah memenangkan berbagai proyek pengadaan barang dan jasa yang kemudian disubkontrakkan kepada perusahaan lain atau perusahaan lain yang mengerjakan proyek tersebut.

Dana-dana tersebut sebagian dijadikan "marketing fee" di bagian pemasaran untuk melakukan lobi usaha agar mendapat proyek yang didanai APBN.

Dari bukti-bukti bon sementara yang diajukan sebagai bukti, terlihat uang yang dikeluarkan diberikan tanda/kode huruf untuk kepentingan siapa, siapa yang mengeluarkan dan nanti uang tersebut akan diganti dengan proyek mana yang nanti akan didapat.

Sebagaimana keterangan saksi-saksi baik dari PT Adhi Karya maupun Permai Group, tidak ada satupun saksi yang menerangkan Anas telah melakukan lobi kepada pemerintah agar perusahaan tersebut mendapat proyek dan tidak ada bukti segala pengeluaran uang dari perusahaan tersebut atas kendali Anas.

"Hanya satu saksi di Permai Group yang menerangkan hal tersebut yaitu Nazaruddin, sebagaimana hukum satu saksi tanpa didukung alat bukti lain adalah 'unus testis nullus testis' (satu saksi bukan saksi) yang tidak mempunya nilai pembuktian," ungkap Andi Samsan.

Bahwa dalam proses pencalonan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, saksi-saksi yang hadir dalam penggalangan suara mengatakan Anas tidak pernah berbicara teknis bagaimana uang didapat untuk pendanaan pencalonan Anas sebagai ketua umum dan hanya bicara perihal visi dan misi untuk ditawarkan dalam Kongres Partai Demokrat di Bandung.

Dari fakta hukum, uang yang dikeluarkan untuk pendanaan pencalonan Anas sebagai Ketua Umum dari simpatisan atas dasar kedekatan dalam organisasi Anas sebelumnya, kebetulan orang-orang tersebut duduk dalam struktur organsiasi perusahaan serta dari kader Partai Demokrat pendukung Anas yang punya akses dalam perusahaan tersebut. (act)

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
05:30
02:02
03:14
01:41
00:54
09:38
Viral