Komnas Perempuan Beberkan Fakta Mengejutkan Kisah Pilu Novia Widyasari
Selasa, 7 Desember 2021 - 19:49 WIB
Jakarta - Mahasiswi Universitas Brawijaya Novia Widyasari yang diduga bunuh diri di dekat makam ayahnya, ternyata pernah mengadu ke Komnas Perempuan. Dalam aduannya, Novia mengaku mendapatkan eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi.
Aduan ini dilayangkan pada bulan Agustus lalu, karena Novia tidak tahan dengan ulah kekasihnya. Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tarbiyah mengatakan bahwa Novia melapor ke Komnas Perempuan melalui mekanisme pengaduan dengan mengisi form online.
Dalam pengaduannya awalnya, almarhum menyampaikan apa yang terjadi. Novia menyampaikan bahwa ia mengalami kekerasan dari pacarnya, dan dia meminta untuk dimediasi dengan pacarnya dan konseling psikologis.
Komnas Perempuan baru bisa membangun komunikasi pada bulan November 2021 ini setelah sebelumnya pesan-pesan melalui wa awalnya tidak berbalas. Kemudian mendapatkan respon dengan ia mengirim surat pengajuan berisi kronologis.
Selain itu, baru dua kali komunikasi telepon yang dapat tersambung dengan almarhum. Dirinya menyampaikan secara rinci apa yang dialaminya. Dirinya mengalami kekerasan bertumpuk dan berlapis selama dua tahun membangun relasi.
Dari kronologis tersebut, atas kebutuhan korban, sesuai mandat dan mekanisme di Komnas Perempuan, Komnas Perempuan merujuk almarhumah untuk mendapatkan konseling psikologis P2TP2A Mojokerto. Berdasarkan informasi yang didapatkan oleh Komnas Perempuan, sudah berlangsung dua sesi konseling dengan almarhumah. Namun sayang, untuk konseling ketiga, tidak dapat dilaksanakan karena almarhum Novia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Menurut pengaduan almarhum Novi, kekerasan yang dialami oleh dirinya berbentuk kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Kekerasan psikis dalam bentuk cacian atau makian terhadap korban, juga ada ingkar janji nikah. Kekerasan yang lainnya adalah ketika pelaku cemburu ada intimidasi kepada korban dengan mengajak korban ngebut di jalan dalam kondisi pintu mobil terbuka.
Sedangkan untuk kekerasan seksual, adalah eksploitasi dan pemaksaan aborsi. Dalam kasus ini, Komnas Perempuan mengkategorikan sebagai kekerasan dalam pacaran (KDP). Selain adanya pemerkosaan, tekanan yang utama adalah ketika almarhum dan tersangka mengajukan atau meminta dinikahkan di bulan Agustus yang 2021, tapi keluarga pacarnya menolak dengan alasan masih ada kakak perempuan pelaku yang belum menikah.
Selain itu, sang ibu mempertimbangkan karir pelaku, sehingga kepentingan korban saat itu tidak didengar. Padahal, saat itu, korban dan pelaku ini memang ingin menikah. Kondisi pun diperburuk dengan adanya dugaan pelaku memiliki relasi dengan perempuan lain pada bulan Oktober. Posisi ini pun yang membuat korban menjadikan korban tambah depresi.(awy)