- Tim tvOne/Suryo Daryono
Viral Bos Pabrik di Cikarang Syaratkan Karyawati 'Staycation' Bareng Atasan, Netizen: Akibat Omnibus Law
Bekasi, tvOnenews.com - Kabar viral pabrik di Cikarang yang memberikan syarat perpanjangan kontrak tidak wajar pada karyawati sedang heboh diperbincangkan di media sosial. Syarat itu mengharuskan karyawati untuk staycation untuk berhubungan seks dengan atasannya untuk memperpanjang kontrak.
Pengalaman itu dialami oleh AD (23), salah satu karyawati di perusahaan yang ada di wilayah Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. AD mengaku kerap dirayu oleh manajer di tempatnya bekerja, dengan catatan agar bisa diperpanjang kontrak kerjanya.
Menurutnya, sang manajer kerap mengajak jalan dan makan berdua. Ajakan tersebut disampaikan melalui pesan aplikasi WhatsApp. Tetapi, bukan sekedar ajakan jalan dan makan berdua, manajenya itu juga menggunakan ancaman tidak akan diperpanjang kontrak kerja karyawati tersebut.
"Ketemu atasan itu jadi dia selalu nanya 'kapan jalan berdua'. Saya selalu alasan, 'iya nanti', maunya saya bareng-bareng, tapi dia selalu enggak mau, maunya berdua. Lama-lama dia kaya kesel, katanya ya sudah kamu habis kontrak saja, enggak usah diperpanjang soalnya janji kamu palsu," kata AD kepada awak media, Jumat (5/5/23).
AD juga menyebut telah bekerja di perusahaan tersebut selama enam bulan sampai dengan saat ini. Perbuatan kurang enak diakuinya sudah diterimanya sejak awal bekerja di perusahaan tersebut.
"Iming-imingnya itu kalau mau diperpanjang harus mau gitu diajak jalan kalau enggak mau diajak jalan ya sudah habis kontrak saja. Aku sih enggak terlalu nanya ke situ ya (Staycation) tapi dia cuma bilang jalan dan makan berdua. Tapi pas diajakin sama temen bareng-bareng dia enggak mau dia maunya berdua," ungkapnya.
"Aku pun cerita sama teman-teman yang lain di sana, ah itu mah atasan itu mah sudah biasa begitu, jadi enggak aneh. Dia manajer," imbuhnya.
Lantaran merasa tertekan, AD memutuskan untuk membuka suara terkait pengalaman yang dialaminya, dan berharap manajernya itu bisa mendapatkan efek jera dan tidak ada lagi korban lainnya.
"Biar ada efek jeranya saja, biar kedepannya enggak ada kaya gitu lagi, harus berani nolak jangan mau diiming-imingi entar diperpanjang kontrak, sudah pokoknya jangan mau," ujarnya.
Netizen pun banyak mengomentari peristiwa tersebut.
"Efek domino dari kebijakan outsourcing," kata akun BakteriBaik.
"Sedih yaa nasib buruh," kata Eron.
"Akibat omnibus bukan ini?" kata Putra.
Sementara itu, Deputi Bidang Pemberdayaan Perempuan, Exco Pusat Partai Buruh, Jumisih, memberikan kecaman atas kejadian yang menimpa dan sangat merugikan bagi buruh perempuan tersebut.
"Kita pasti prihatin dan mengecam atas situasi tersebut. Dan sangat disayangkan dalam situasi hubungan kerja terdapat hal-hal yang sangat merugikan perempuan," ujar Jumisih, Rabu, (3/5/2023).
Kejadian tersebut, lanjut Jumisih, tak lepas akibat adanya relasi kuasa. Di mana pemilik kuasa, yakni atasan perusahaan, bertindak sewenang-wenang, dengan menindas yang lemah, demi mendapatkan apa yang diinginkannya.
"Hal ini juga terjadi akibat adanya relasi kuasa. Relasi kuasa antara mereka yang punya kuasa, dalam hal ini adalah atasan, dan buruh perempuan yang memang butuh pekerjaan."
"Relasi kuasa ini umum terjadi memang di tempat kerja. Dan ini dimanfaatkan oleh yang punya kuasa untuk menindas yang lemah, dalam hal ini adalah buruh perempuan." katanya.
Jumisih menegaskan, bahwa Partai Buruh, yang salah satu konstituennya adalah kelas pekerja, akan sangat terbuka untuk mengurai persoalan tersebut. Tentunya dengan memberikan bantuan perlindungan dan pendampingan hukum, bagi para korban untuk mendapatkan keadilan.
"Kami dari Partai Buruh tentu saja mendukung korban untuk mendapatkan keadilan. Dan apabila korban ingin mendapatkan perlindungan atau pendampingan hukum, Partai Buruh sangat bersedia," tutup Jumisih.
Tak Lepas dari Regulasi yang Buruk
Partai Buruh menjelaskan, persoalan tersebut terjadi erat kaitannya dengan regulasi yang buruk, sehingga merugikan kaum buruh, tak terkecuali buruh perempuan.
"Situasi buruh kontrak seperti itu juga ada kaitannya dengan Undang-undang (UU) yang saat ini berlaku. Misalnya sekarang ada UU Cipta Kerja, di mana sistem kerja kontrak itu dilegitimasi oleh hukum," ujar Jumisih.
"Sebetulnya itu ada kaitannya dengan regulasi. Kalau misalnya hubungan kerja itu tidak dalam kondisi yang buruk seperti sekarang, hal-hal seperti itu bisa diminimalisir."
Meski demikian, Jumisih mengajak kepada seluruh buruh perempuan, agar tidak tunduk terhadap aturan-aturan yang merugikan buruh perempuan. Lantaran, negara telah menjamin hal tersebut, sehingga hanya dibutuhkan keberanian untuk melaporkannya.
"Sekarang kan sudah ada UU (Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), tetapi PP turunannya masih dalam proses perancangan. Namun sebetulnya, itu juga bisa dimanfaatkan supaya pihak korban mendapatkan keadilan, dengan melapor ke posko pembelaan, atau ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) setempat dan juga pihak kepolisian," tegas Jumisih.
Selain itu, Jumisih meminta, apabila hal itu terbukti nyata, maka pihak perusahaan dan juga pemerintah harus bertanggungjawab. Sehingga tak ada lagi buruh, khususnya buruh perempuan, yang menjadi korban akibat regulasi yang buruk dan pemanfaatan relasi kuasa yang sewenang-wenang.
"Persoalan tersebut juga harus meminta pertanggungjawaban dari pengusaha dan juga pemerintah. Sebagai korban, pekerja berhak untuk mendapatkan keadilan."
"Ketika korban melapor, tentu saja harus mendapatkan pendampingan hukum, waktu, kesempatan dan fasilitas yang disediakan oleh perusahaan dengan catatan tidak mengintimidasinya," tegasnya. (sda/ebs)