- tim tvone - sandi irwanto
Vonis Ringan Richard Eliezer, Pakar Hukum Pidana : Bisa jadi Dia Kembali menjadi Anggota Polri
Surabaya, Jawa Timur - Putusan ringan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap Richard Eliezer tidak lepas perannya sebagai Justice Colaborator (JC). Pakar Hukum Pidana di Surabaya menilai majelis hakim menghayati dan mempertimbangkan sosial justice atau keadilan masyakarat. Dengan putusan ringan 1,6 tahun hukuman penjara ini, bisa jadi Bharada Richard Eliezer kembali menjadi anggota Polri.
Pakar Hukum Pidana Dr Hufron SH, MH menjelaskan terkait ringannya vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Bharada Richard Eliezer, terpidana kasus pembunuhan terhadap Joshua Hutabarat. Hufron menilai majelis hakim mengacu Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman nomer 48 tahun 2009, bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat.
“Jadi rupanya hakim lebih menghayati amanah pasal 5 ayat 1 tadi yang hidup di masyarakat, yang disebut sebagai sosial justice atau keadilan publik,” ungkap Guru Besar Hukum di Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya ini.
Menurut Hufron, dari pertimbangan yang dibaca hakim itu yang memvonis 1,6 tahun pada Eliezer karena 5 hal. Pertama, Richard Eliezer sebagai Justice Collaborator (JC), dia masih muda, belum pernah dihukum, dia menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi, serta dia sudah meminta maaf kepada keluarga Joshua, dan keluarga memaafkannya.
“Jadi ada lima alasan kenapa hakim memutus ringan, meskipun dia pelaku pembunuhan, tetapi lebih ringan dari tuntuan jaksa. Dan itu menurut saya sangat progresif dan fenomenal. Putusan itu mengedapankan aspek keadilan sosial atau publik,” ujar Hufron.
Dengan adanya putusan ringan dari majelis hakim ini, bisa jadi Eliezer jika dia sudah disidang Kode Etik Kepolisian dan apabila putusannya diberhentikan tidak hormat, apakah bisa menjadi anggota Polri lagi? Hufron menyebutkan, sidang Etik itu pada intinya terkait adanya dugaan pelanggaran Kode Eitk dan Kode Disiplin. Tentu kalau sidang Kode Etik berbeda dengan siding Pidana yang melanggar hukum pidana.
“Sebenarnya sidang Kode Etik ini bisa disidangkan secara pararel bersamaan dengan sidang Hukum Pidana, karena ujungnya keputusannya itu berbeda. Kalau disidang Pidana putusannya penjara, tetapi sidang Kode etik itu keputusannya maksimal diberhentikan dengan tidak hormat, diberhentikan dengan hormat, atau saksi etik terhadap bersangkutan seperti tidak dapat kenaikan pangkat ,” jelas Hufron.
“Kalau sidang Kode Etik itu bisa banding. Kalau putusannya memberatkan yang bersangkutan bisa banding. Kalau keputusannya ringan, bisa jadi putusannya bisa dianulir. Karena putusan lebih ringan mungkin dia bisa kembali menjadi anggota Polri, seiring putusannya lebih ringan, tapi kalau putusannya berat dan diberhentikan tidak hormat mungkin saja tidak bisa kembali. Kecuali tidak menjadi anggota kepolisian, namun bisa yang bersifat administratif,” pungkasnya. (msi/hen)