- tvOne - zainal azkhari
Kasus Pemerkosaan yang Marak di Kalangan Pelajar, Gus Fawait : Turunnya Peran Pendidikan Moral Agama dalam Keluarga
Surabaya, tvOnenews.com – Selama sepekan ini, muncul dua kasus pemerkosaan yang dialami oleh siswa SMPN di Surabaya. Pertama dialami M (15) dicekoki minuman keras dan diperkosa oleh dua pemuda salah satu pelaku dibawah umur hingga hamil 5 bulan. Terbaru, siswi berusia 13 tahun diperkosa dan dirampas HP dan uang Rp 100 ribu oleh laki-laki yang dikenal dari medsos dan ditinggal di jalan raya.
Melihat kasus kejahatan seksual yang kerap terjadi terhadap anak di bawah umur ini, Pemerhati Akhlak dan Pendidikan Islam, Mohammad Fawaid atau akrab dipanggil Gus Fawait menjabarkan kejahatan seksual yang bermodus melalui medsos dalam 5 tahun terakhir dan cukup marak tak hanya di Jawa Timur. Dipicu sejumlah faktor psikologis dan pendidikan akhlak dalam hal ini agama yang kini mulai ditinggalkan.
Permasalahan kehidupan sosial terutama pada anak anak saat ini yang sering dikelompokan sebagai generasi Z banyak bersosialisasi di dunia maya dan bukan di dunia nyata, seperti medsos dan internet.
"Media sosial bagaikan bom waktu yang bisa meledak kapan saja dan menimpa siapapun yang tidak dipahami dampak medsos tidak seindah dan seperti kenyataan, mereka tidak memahami cyber crime effect. Para pelaku kejahatan yang berkenalan di dunia sosial biasanya menawarkan kenyamanan dan keamanan dalam bergaul bahkan banyak korbannya dibuat senyaman mungkin dibuai dalam perkenalan di dunia maya tersebut,” ujar Gus Asal Jember tersebut, Sabtu (6/5).
Di dunia maya umumnya bagi anak anak yang dibesarkan di dalam keluarga yang tidak agamis sebagian besar memiliki masalah sosial di dalam keluarga, komunikasi keluarga tidak begitu baik, komunikasi terbatas melalui WhatsApp, kemudian hubungan antara anak dan orang tua hanya terbatas bertemu di rumah saja.
“Sementara saat proses dewasa, remaja kita tahu mereka masih dalam mencari identitas, butuh pengakuan. Pengakuan ini sering diartikan oleh anak-anak anak yang masih awam justru mereka mencari pengakuan dari orang yang sama sekali tidak dikenalnya di dunia maya seolah bisa menerima sosok mereka yang selama ini tidak mereka dapatkan dari keluarga di rumah," tutur Gus Fawait.
Praktisi Pesanteren dan pegiat sosial melalui Laskar Sholawat Jatim ini menjelaskan ketika melakukan perkenalan lewat medsos akan ada perhatian yang diberikan. Seperti menanyakan kabar, sedang apa, apakah sudah makan, sudah tidur hingga menjadi pendengar yang baik.
Pelaku sendiri akan meyakinkan kepada korban bahwa dia orang yang baik, bertanggung jawab, memiliki perhatian, setiap waktu diperhatikan. Sehingga, tanpa disadari anak-anak sudah terlibat secara emosional dan akhirnya terjebak.
"Ketika terjebak, mereka secara emosional merasa dekat, sudah terikat secara emosional, bergantung secara emosional, akhirnya janjian bertemu lewat darat, dia sudah merasa nyaman. Akhirnya tidak sadar masuk perangkap pelaku kejahatan predator seksual, itu yang mereka tidak pahami," ujarnya.
Ia menyebut, tak hanya remaja saja yang menjadi korban kejahatan seksual. Tetapi juga dewasa awal, yakni usia 18-25 tahun banyak yang tertipu. Dimana saat ini banyak pelaku kejahatan berkenalan lewat medsos.
Belum lagi, korban tidak menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak baik diupload ke medsos, karena dapat dilihat orang lain, terlebih yang tidak dikenal.
"Rata-rata ketika sudah menikmati kebersamaan, cerita di rumah begini, ada masalah keluarga, cerita ibu bapakku sibuk, curhatan-curhatan itu yang digunakan pelaku Itu berisiko. Kemudian ketemu darat, dibawa ke suatu tempat dan disitulah perbuatan amoral jauh dari norma Agama yang terjadi,” ujarnya.
“Ini sudah sekian ratus kasus. Memang angka kejahatan terhadap anak pada tahun 2022 dan 2023 meningkat drastis dan pelaku kejahatan seksual dan pelaku orang yang ada di sekitar anak, bukan hanya fisik tapi komunikasi," jelasnya.
Sebagian besar para pelaku ini memiliki tujuan tertentu dari kesenangan, hingga menguasai harta milik korbanya bahkan ada yang menjadikannya budak seks dengan mengancam teror dari perbuatan amoral yang dilakukan pelaku kepada korban dengan sengaja memvideokan aksi perbuatanya.
Bahkan lebih jauh ia pernah menemukan kasus anak dibawah umur diminta video call diminta telanjang dan diminta menunjukkan bagian tubuh dan memegang alat kelaminnya yang semestinya dia tutupi, namun dia tunjukkan pada orang yang tidak dikenalnya padahal korban dan pelaku belum pernah bertemu.
Parahnya, ia sendiri pernah menemukan kasus video call porno ini lantas dijadikan sarana untuk memperdaya dan memeras korban untuk menuruti segala kemauan pelaku dari menuruti berhubungan badan hingga mememras dengan tebusan uang dan barang berharga lainya.
"Mereka sebagian besar masih polos dan tidak faham akhlak dan prilaku yang baik, meski ngak tahu teman laki-laki yang baru dikenalnya itu wajahnya seperti apa, tapi mereka percaya bahwa dia orang baik dan bisa dipercaya sehingga mau diajak mesum di dunia maya,” tambahnya.
Ia menambahkan, ada masalah komunikasi keluarga yang terputus. Pola pengetahuan yang sangat sederhana dalam keluarga, dan pendidikan keluarga yang berfokus terhadap pendidikan formal dan mengabaikan pendidikan agama, pengetahuan terbatas menyebabkan keluarga tidak memahami apa yang terjadi kepada anaknya.
“Faktor pendidikan agama, faktor ekonomi juga berpengaruh. Orang tua sekarang lebih percaya pada anaknya dan mengalah dengan keputusan anak, asal bisa membelikan gadget atau smartphone. Masalah sosial diangap nya telah selesai, ini problem yang wajib di selesaikan bersama," pungkasnya. (zaz/gol)