- tim tvone - edy cahyono
Ada Makam Tertua di Kawasan Kampoeng Haritage Kayoetangan Kota Malang, Ini Penjelasannya
Malang, tvOnenews.com - Salah satu obyek wisata religi yang berada di Kawasan Kampoeng Wisata Haritage Kayoetangan yang terletak di Kelurahan Kauman, Kecamatan Klojen, Kota Malang, ternyata ada makam tua yang berada di tengah pemukiman rumah warga yang lebih dikenal dengan makam Eyang Honggo Kusumo atau Mbah Honggo.
Eyang Honggo Kusumo atau Mbah Honggo konon adalah orang yang pertama kali bermukim di kawasan ini. Di samping makam Mbah Honggo terdapat satu makam lagi, makam Tandak yang menurut kisah seorang prajurit merupakan teman Mbah Honggo. Sebutan Tandak yang berarti penari ini berawal karena di tempat itu sering dijadikan lokasi untuk merias diri para tandak (penari).
Nama wilayah ini karena ada pohon yang bentuknya mirip tangan. Kemudian dari Kitab Pararaton, yang memuat rekam raja-raja Singasari dan Majapahit, tempat ini pernah menjadi lokasi persembunyian Ken Arok yang diburu oleh Tunggul Ametung.
Mbah Honggo atau pangeran Honggo Koesoemo merupakan guru spiritual bupati Malang pertama yaitu R.A.A Notodiningrat. Beliau dikenal sebagai ulama yang kharismatis yang hidup di awal abad ke 8 Masehi.
Dalam buku "Wanwacarita Kesejarahaan Desa Desa Kuno di Kota Malang" yang ditulis oleh sejarawan M Dwi Cahyono (2013), diceritakan bahwa kisah Mbah Hunggo di Jawa Timur dimulai sejak pelarian beliau pada tahun 1830 an.
Dikatakan Dwi dalam tulisannya, kisah ini dimulai pada tahun 1518 dan 1521 dimana terjadi penyerangan oleh Kerajaan Demak yang dipimpin Adipati Unus ke Kerajaan Mojopahit yang di kala itu di bawah kekuasaan Prabu Brawijaya.
Serangan dari Kerajaan Demak ini mengharuskan seluruh keluarga Kerajaan Mojopahit untuk mundur ke Sengguruh yang selanjutnya mengungsi ke Pulau Bali.
Sejak serangan tersebut kata Wijaksono, anggota keluarga Kerajaan Mojopahit melarikan diri ketempat tempat berbeda beda.
"Salah satunya putra Prabu Brawijaya bernama Batoro Katong yang melarikan diri ke Ponorogo pada tahun 1535," jelasnya.
Selanjutnya beliau diangkat menjadi Adipati Ponorogo. Gelar Adipati Ponorogo kemudian diberikan secara turun-menurun hingga beberapa keturunannya.
"Yaitu Kandjeng Pangeran Soero Adiningrat," jelasnya.
Adipati Ponorogo kala itu, Kandjeng Pangeran Soero Adiningrat mempunyai putra bernama Kandjeng Soero Adimerto yang hidup di masa perjuangan Pangeran Haryo (BPH) Diponegoro, seorang putra dari Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kandjeng Susuhunan Pakubuwana 1 tahun 1825.
Namun pada tahun 1830 terjadi penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal De Kock di Magelang. Kejadian ini membuat seluruh senopati (panglima perang) yang kala itu hidup pada masa perjuangan Pangaran Haryo (BPH) Diponegoro harus hidup menyebar dan menyelamatkan diri ke seluruh wilayah Jawa Timur, serta menggunakan nama-nama samaran untuk menghilangkan jejak terhadap Belanda.
“Sejak kala itu, Pangeran Soero Adimerto berganti nama menjadi Kyai Ageng Paroet. Kemudian Pangeran Honggo Koesoemo menjadi Mbah Hunggo dan ulama besar Kandjeng Kyai Zakaria II menjadi Mbah Djoego (Gunung Kawi) keturunan langsung dari Pangeran Diponegoro," pungkasnya. (eco/hen)