- Istimewa
Sejarah Tahun Baru Islam Hijriah, Semangat dari Kegelapan menuju Kemuliaan
Surabaya, tvOnenews.com - Terhitung sejak masuknya waktu maghrib malam Rabu kemarin, 1 Muharam 1445 Hijriah tahun ini jatuh pada hari Rabu (19/7). Sebagai hari libur nasional, tentunya Tahun Baru Hijriah tak hanya dirayakan oleh umat Muslim, namun juga seluruh masyarakat Indonesia yang hidup dalam bhinneka tunggal ika.
Berbeda dengan tahun masehi yang dirayakan dengan pesta kembang api dan pesta pora, tahun baru Hijriah lebih banyak dimaknai dan dirayakan dengan ibadah dan zikir serta pawai selawat memeringati hijrahnya umat Islam dipimpin oleh Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah.
“Setiap Tahun Baru Hijriah, kita akan selalu melakukan refleksi terhadap diri sendiri apakah akhlak dan keimanan kita sudah semakin baik atau justru sebaliknya,” kata Gus Fawait.
Asal usul Tahun Baru Islam dimulai ketika seorang Gubernur Abu Musa Al-Asyari menuliskan surat yang diberikan kepada Khalifah Umar Bin Khatab RA. Kepada pemimpin tersebut, ia mengaku bingung perihal surat yang tidak memiliki tahun.
Hal inilah yang menyulitkannya saat penyimpanan dokumen atau pengarsipan. Kondisi inilah yang mendasari dibuatnya kalender Islam, yang mana saat itu umat Muslim masih mengadopsi peradaban Arab pra-Islam tanpa angka tahun, hanya sebatas bulan dan tanggal.
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kalender ini sebagai penyempurnaan waktu. Misal saja, mengembalikan bulan menjadi 12 dan tidak memaju mundurkan bulan atau hari yang semestinya masyarakat Jahiliah ketika itu.
Gus Muhamad Fawait, Presiden Laskar Sholawat Nusantara (LAN) sekaligus ulama muda NU, memaknai Tahun Baru Hijriah sebagai momentum hijrahnya Rasulullah SAW beserta umat islam dari Makkah ke Madinah.
Tahun Hijriah dipilih oleh para sahabat di masa Khulafaur Rasydin, menjadi tanda perubahan masa eksistensi umat Muslim dari Jahiliah menjadi Madani.
Usulan tersebut dilontarkan langsung oleh Khalifah Ali Bin Abi Thalib dan disetujui oleh semua sahabat nabi yang lainnya.
Sebenarnya, selain usulan tersebut, awalnya ada beberapa opsi dari kalangan sahabat Rasulullah. Seperti momen Isra’ dan Mi’raj, yang disebut sebagai momentum penting saat nabi terakhir tersebut menerima wahyu untuk menjadi salah satu Nabi Allah SWT.
Alasannya, momen hijrah dinilai lebih universal jika dibandingkan dengan momen kelahiran Rasulullah.
“Momentum hijrahnya Rasulullah SAW sebagai simbol hijrahnya dari masa kegelapan ke masa yang penuh terang benderang atau hijrahnya umat Muslim dari masa Jahiliah ke masa penuh Kemuliaan,” terang Gus Fawait, Rabu (20/7).
Penentuan pastinya, yaitu pada 17 tahun setelah hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah tersebut, tepatnya pada tahun 638 Masehi. Sejak itulah, kalender Islam mulai dikenal dan diakui sebagai pedoman penanggalan oleh umat Islam.
“Tidak ada perubahan yang terjadi sejak penetapan tersebut sampai saat ini, dimana sistem dan proses penanggalan masih mengacu kepada kesepakatan khalifah di masa Rasulullah tersebut,” tambahnya.
Dalam perjalanannya, sejumlah peristiwa penting juga terjadi dalam momentum pergantian tahun Hijriah yang juga dikenal dengan bulan yang juga dinamakan Muharam, dimana cucu Nabi Sayyidina Husain Bin Ali (RA) terbunuh dalam perang saudara di tanah Karbala.
“Terbunuhnya Sayidina Husain di tanah Karbala terjadi saat sekelompok umat Islam yang tidak sepaham dengan berbaiatnya. Sebagian umat Islam di Kufah yang mengangkat Imam Husain sebagai Khalifah melanjutkan kepemimpinan pascameningalnya Saydina Hassan Bin Ali,” sambungnya.
Sejarah kelam 10 Asyura merupakan pembelajaran berharga bagi umat Islam terutama di nusantara agar tidak mudah dipecah.
“Konsep bernegara kita di Indonesia dengan ideologi Pancasila adalah sudah final dan merupakan bagian dari ijtihad ulama terhadap piagam Madinah yang dicontohkan Nabi Muhamad SAW,” ungkapnya
Dalam konsep hubul wathan minal iman, umat Islam sebagai mayoritas bisa hidup berdampingan dengan seluruh umat agama lain yang sebangsa dan setanah air, dan ini sudah sesuai dengan konsep Islam dimana harmoni terjadi dalam perbedaan.
“Seluruh umat dapat melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya adalah bagian dari syariat Islam dalam piagam Madinah yang dikenal oleh Rasulullah SAW, dimana semua umat manusia bebas menjalankan keyakinannya dan saling menghargai,“ pungkasnya. (zaz/far)