- m habib
Unik, 70 Persen Warga Kampung Dobong Ini Hidupi Keluarga Puluhan Tahun dengan Jualan Keranjang Ikan
Gresik, tvOnenews.com - Ada yang unik dan cukup menarik di sebuah desa di Kabupaten Gresik. Desa itu bernama Desa Panjunan atau lebih dikenal dengan sebutan Kampung Dobong. Dinamakan Kampung Dobong (keranjang ikan, red) lantaran hampir 70 persen warganya menggantungkan dirinya sebagai perajin keranjang ikan, untuk menghidupi keluarga mereka.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, sentra perajin dobong atau keranjang ikan di Desa Panjunan itu telah ada dan berlangsung sejak puluhan tahun silam. Dobong yang terbuat dari bambu berukuran jumbo, kerap digunakan petani tambak memanen ikan atau nelayan untuk mengangkut hasil ikan tangkapannya dari perahu ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
"Desa Panjunan, Duduksampean Gresik menjadi sentral industri kerajinan tangan berupa dobong atau keranjang ikan dari puluhan tahun silam. Dobong itu dibuat untuk mensuplai kebutuhan di beberapa Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang ada di Jawa Timur," tutur Asti (59) perajin Dobong, Selasa (22/8).
Di sela-sela menganyam dan merajut bambu di teras rumahnya, Asti mengaku melakukan pekerjaan membuat ‘dobong’ itu sejak kecil dan merupakan keahlian yang didapat dari nenek moyang atau sudah turun temurun.
“Saya membuat dobong sejak kecil dan sudah turun temurun warisan dari nenek moyang terdahulu,” lanjutnya.
Setiap harinya ribuan dobong dihasilkan dari warga Desa Panjunan. Meskipun masyarakat Desa Panjunan bekerja sebagai petani, namun hampir 70 persen warganya bekerja membuat dobong (keranjang ikan).
Sebanyak 250 kepala keluarga (KK) setiap harinya melakukan pekerjaan menganyam bambu untuk bahan pembuatan keranjang. Pekerjaan dilakukan dua orang dengan tugas masing-masing agar bahan dari bambu bisa dirangkai sedemikian rupa menjadi sebuah keranjang besar yang lebih dikenal dengan nama dobong.
Mula-mula bahan dari bambu utuh yang berukuran panjang 6,5 meter (650 sentimeter) dengan diameter 8-10 sentimeter dibelah menjadi 7-8 bagian dengan lebar 2-3 sentimeter. Kemudian bambu dibelah lagi tipis–tipis dengan tebal 1-1,5 milimeter atau biasanya satu bagian di belah lagi menjadi lima bagian tipis.
Lalu bambu dengan panjang 650 sentimeter dipotong sepanjang 180 sentimeter untuk alas, sisanya untuk anyaman dinding keranjang. Setelah bambu menjadi tipis-tipis, kemudian dirangkai dengan cetakan yang bernama ‘jabel’ dengan diameter lebar atas 50 sentimeter, diameter bawah 40 sentimeter dan tinggi 45 sentimeter.
Dengan dibantu cetakan (jabel) tadi, para perajin mulai merajut dan merangkai satu persatu lembaran tipis dari bambu tersebut sedemikian rupa hingga menjadi keranjang dobong’ ikan yang selama ini dibutuhkan oleh petani tambak saat panen, maupun oleh para nelayan untuk mengangkut hasil ikan tangkapan.
Sidik, perangkat Desa Panjunan yang menjabat sebagai Kaur Umum mengaku, selesai menjalankan tugas melayani masyarakat, pada malam hari dirinya juga merajut dan merangkai bambu-bambu tersebut menjadi sebuah ‘dobong’ keranjang ikan.
"Semua warga di sini (Desa Panjunan) melakukan pekerjaan tersebut. Bahkan saya sendiri dan semua remaja disini mulai seusia SMP, sudah belajar sehingga rata-rata mereka sudah menguasai dengan baik (mahir) dalam membuat ‘dobong’ keranjang ikan tadi,” jelasnya.
Saking lihainya, dalam satu hari masing-masing satu kepala keluarga bisa menghasilkan 20 biji ‘dobong’ keranjang ikan.
"Tinggal mengalihkan saja, jika yang aktif 130 KK saja maka satu hari akan dihasilkan 2600 biji ‘dobong’ keranjang,” imbuhnya.
Untuk pasokan bahan baku berupa bambu warga sudah tidak perlu khawatir lagi. Di Desa Panjunan, ada beberapa pengepul yang menyediakan jual beli bambu dan juga menampung hasil ‘dobong’ keranjang ikan mereka. Untuk disalurkan ke beberapa daerah di Jawa Timur dan kota-kota besar lainnya sesuai permintaan.
Kepala Desa Panjunan, Nursilah, SE merasa bersyukur karena warganya memiliki keahlihan dalam membuat ‘dobong’ keranjang ikan yang sudah ada sejak nenek moyang, sehingga warganya bisa mandiri tidak mengantungkan diri pada pekerjaan di pabrik.
“Alhamdulillah, warga desa di sini sangat produktif dengan adanya kerajinan tangan atau keahlian dalam membuat keranjang. Tahun 2019 lalu dimasa pandemi Covid-19 dimana semua sektor industri tiarap dan banyak usaha terdampak. Warga Desa Panjunan tetap eksis dengan produksi keranjang dan tidak ada istilah menganggur. Mereka tetap bekerja mandiri di rumah masing-masing,” jelasnya.
Nursilah berharap, ketersediaan bahan baku tetap lancar, sehingga warga bisa tetap bekerja membuat ‘dobong’ keranjang ikan. Karena jika bahan baku terlambat datang, maka mereka tidak bisa bekerja.
“Semoga bahan baku tetap tersedia meskipun kita tahu keberadaan pohon bambu semakin berkurang. Untuk saat ini bahan baku disuplai dari Madura, Tuban dan Lamongan masih cukup,” pungkasnya.
Saat ini produk kerajinan ‘dobong’ keranjang ikan tersebut dikirim untuk memenuhi permintaan ke beberapa kota di Jawa Timur seperti Pasar Ikan Lamongan, TPI Brondong Lamongan, TPI Weru Lamongan, TPI Campurejo, TPI Lumpur Gresik, Pasar Pabean Cantikan Surabaya dan beberapa kota seperti Pasuruan dan Probolinggo.
Dobong-dobong tersebut dijual ke pengepul dengan harga kisaran Rp370 ribu hingga Rp400 ribu per bandel. Satu bendel isi 20 biji ‘dobong’ atau keranjang ikan. (mhb/far)