- tvOne - sandi irwanto
Konflik Rempang, Sejarah Panjang Suku Laut dan Tanah Adat, Ini Penjelasan Profesor Hukum
Surabaya, tvOnenews.com - Bentrok antara penduduk Pulau Rempang dan aparat keamanan yang berlangsung beberapa hari terakhir ini telah berakhir. Konflik tersebut dipicu perselisihan mengenai tanah adat yang ditempati suku laut dan kepemilikan oleh investor, yang akan dijadikan kawasan industri dan hunian, ecocity.
Profesor Dr Soenarno Edy Wibowo, S.H., M.H. pakar hukum dari Universtias Negeri Surabaya (Unesa) menegaskan, bahwa akar konflik ini sangat kompleks. Pulau Rempang telah lama dihuni oleh suku laut yang memiliki hubungan erat dengan lautan dan bergantung pada sumber daya laut untuk kehidupan mereka sehari-hari. Tanah adat ini dianggap sebagai pusat budaya dan spiritual mereka.
Di sisi lain, pemerintah setempat mengklaim kepemilikan Pulau Rempang, telah mencoba mengembangkan wilayah tersebut untuk tujuan komersial. Hal ini mencakup proyek Industri dan pembangunan infrastruktur yang mengancam tanah adat suku laut.
“Sebenarnya mudah kita selesaikan, harus ada koordinasi kalau kita bicara adat. Ya bicara Melayu, harus ada pelepasan dulu jangan sampai Pemerintah nyerobot, harus ada musawarah dan mufakat. Semua harus dikoordinasikan dulu baru ketingkatkan wilayah baru ke Pemerintah pusat, artinya negara sekarang ini ibaratkan tahun kaget. kalau tahun 2004 itu katanya sudah muncul Hak Guna Usaha atau yang di sebut (HGU),” ujarnya saat dikomfirmasi, Selasa (19/9) di kantornya.
Profesor Hukum ini menambahkan, disitu ada suku laut yang puluhan tahun tinggal, dan banyak situs-situs Kerajaan Trah, Kerajaan Siak Indrapura.
“Kalau enggak salah waktu itu sudah menduduki 340 tahun. Sekarang ini mungkin sudah 7 turunan beranak pinak suku lautnya. Masyarakat sana itu suku lautnya, ibaratkan seperti ikan yang tidak ada air, tidak bisa hidup,” terangnya.
Pemerintah, kata Bowo, harus memberikan sesuatu kesejahteraan dan kemasyarakatan. Jangan sampai pemerintah nantinya membuat perpecahan.
“Kita gali lagi pokok permasalahannya dulu, kita harus melihat masalah Papua bagaimana bisa menyelesaikan, perlu diperhatikan masalah ini kepada Pemerintah, jangan sampai menjadi salah satu alat kekuasaan alat kekuatan, simbolis kita (NKRI) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jangan sampai negara kita terpecah belah,” ujarnya dengan nada khawatir.
Konflik mencapai titik kritis, saat aparat keamanan mencoba untuk menggusur penduduk Pulau Rempang, yang masyarakatnya nelayan di pesisir pantai yang akan berupaya menentang pembangunan tersebut. Demonstrasi besas-besaran akan berubah menjadi bentrokan, antara penduduk dan aparat, yang akan menyebabkan banyak luka-luka di kedua belah pihak.
“Pemerintah setempat harus berusaha untuk meredahkan ketegangan dengan mendekati para pemimpin suku laut dan perwakilan adat setempat. Mereka berharap untuk mencapai kesepakatan yang memadukan kepentingan kedua belah pihak dan menjaga perdamaian di pulau ini,” imbuh Bowo.
Krisis di Pulau Rempang menjadi pengingat akan kompleksitas konflik yang melibatkan klaim tanah adat dan pembangunan ekonomi. Masyarakat berharap agar negosiasi dapat memunculkan solusi yang adil dan berkelanjutan, yang akan membantu mendamaikan Pulau Rempang dan mengakhiri ketegangan yang telah berlangsung lama. (msi/gol)