- sandi irwanto
Pakar Hukum Tata Negara: Putusan MKMK Bisa Saja Berhentikan Ketua MK karena Dinilai Melanggar Kode Etik
Surabaya, tvOnenews.com - Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang dibacakan Selasa (7/11) sore, mendapat tanggapan dari pakar hukum tata negara di Surabaya, Dr. Hufron SH MH.
“Pertama perlu dipahami adalah apa sebenarnya yang menjadi kewenangan dari MKMK. Jadi, MKMK yang diketuai Jimly Asshiddiqie ini berwenang untuk menjaga keluhuran, harkat martabat dan kehormatan mahkamah, dengan cara memeriksa memutus dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim MK,” ujar Hufron.
Seperti diketahui laporan dugaan pelanggaran kode etik, menurut Hufron, secara umum ada dua. Yang pertama, soal apa yang disebut sebagai adanya konflik interest atau melanggar kode etik dan perilaku MK itu adalah asas atau imperiality yang itu dituduhkan kepada ketua hakim MK.
“Kedua, terkait putusan yudisi review Nomor 90 tahun 2023. Menurut saya itu ada pengaduan berkaitan dengan persoalan sejumlah hakim MK, memberikan komentar terhadap proses penjatuhan putusan perkara No 90 melalui rapat permusyawaratan hakim, yang itu tentu tidak dibenarkan. Kecuali yang bersangkutan adalah dalam konteks memperjelas putusan,” ungkap Hufron.
Jadi, kata Hufron, ada dua perihal yang harus dibuktikan oleh majelis kehormatan. Satu tentang apakah betul ada pelanggaran yang disebut sebagai konflik of Interest. Yang kedua, apakah betul terbukti bahwa hakim MK adalah melanggar prinsip yaitu tidak boleh berkomentar secara terbuka terhadap proses pengambilan keputusan di majelis.
“Rapat permusyawaratan terhadap pengaduan tersebut ada kemungkinan putusan itu, pertama adalah bahwa terbukti ketua MK adalah melanggar konflik of interest, yang di mana mestinya harus mengundurkan diri karena ada keluarga, ponakannya yang punya kepentingan langsung terhadap putusan,” paparnya.
“Kedua ada kemungkinan dengan putusan tersebut kemudian Ketua MK dijatuhkan putusan diberhentikan tidak dengan hormat. Atau putusan sanksi berupa peringatan tertulis. Dan terhadap putusan yang pertama ini tidak berpengaruh dan tidak berimplikasi hukum terhadap pembatalan putusan perkara yudisial review nomor 90 tahun 2023,” imbuh Hufron.
Tetapi, lanjut Hufron, pertimbangan dan amar putusan terhadap pengaduan yang kemudian diputus oleh Hakim Kehormatan dapat dijadikan novelty atau alasan baru melakukan yudisial review ulang terhadap pasal 169 huruf Q Undang-undang Pemilu, sebagaimana dalam putusan review 90 tahun 2023.
“Kemungkinan untuk yang kedua adalah pelapor terbukti, bahwa ketua MK atau hakim MK melanggar kode etik perilaku hakim, termasuk pelanggaran berat. Kemudian diberi sanksi untuk diberhentikan dengan tidak hormat. Dan untuk kasus hakim yang lain bisa sanksi peringatan tertulis, karena dia telah memberikan komentar di ruang terbuka terhadap perkara yang sedang ditangani,” jelasnya.
Dengan pendekatan yang progresif, bisa saja kemudian mengaitkan dengan putusan perkara nomor 90 yaitu, meminta majelis kehormatan untuk diperiksa ulang sebagaimana dimaksud pasal 17 ayat 7 undang-undang kekuasaan kehakiman nomor 48 tahun 2009.
“Terakhir, keputusan yang mungkin itu tidak disambut baik oleh para aktivis demokrasi dan aktivitas hukum, masyarakat umum adalah putusan bahwa pengaduan pelapor tidak terbukti, setelah dilakukan pemeriksaan saksi, bukti dan ahli atas pelanggaran kode etik di hadapan majelis kehormatan. yang di mana bahwa tidak terbukti pengaduan itu, di mana Ketua MK itu tidak ada conflict of interest gitu karena dipandang bahwa pemohon review perkara 90 itu adalah bukan langsung Gibran Rakabumi Raka. Oleh karena itu dipandang bahwa ini tidak memilik conflict interest karena pengacu bukan pemohon langsung dalam perkara ini,” tuturnya.
Hufron menilai, kemungkinan hal ini juga kecil tetapi itu adalah kemungkinan yang tidak diharapkan oleh masyarakat. Ke depan penting untuk dipahami bahwa apapun keputusan yang dikeluarkan oleh majelis kehormatan, putusan yang harus dihormati. Putusan Mahkamah Konstitusi nanti adalah putusan yang bisa mendorong masyarakat masih percaya kepada mahkamah konstitusi, atau masih percaya kepada majelis kehormatan.
“Ini karena mahkamah konstitusi memiliki kewenangan untuk mengadili sengketa Pilpres dan Pileg di tahun 2024 sehingga putusan MK harus putusan yang kemudian mendorong kepercayaan publik, keluhuran, kehormatan dan mendorong proses demokrasi yang lebih beradab dan bermartabat,” tandasnya. (msi/far)