- tvOne - sandi irwanto
Jelang Putusan Sidang Pra Peradilan Mantan Ketua KPK Firli Bahuri, Ini Prediksi dan Paparan Pakar Hukum
Surabaya, tvOnenews.com - Jelang putusan sidang pra peradilan, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mendapat sorotan intens dari berbagai pihak, terutama dari para pengamat hukum. Guru Besar Hukum Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof Dr Sunarno Edy Wibowo, S.H., M.H, memberikan pandangannya terkait potensi hasil putusan sidang yang akan dibacakan Senin (18/12).
Menurut dosen Pascasarjana bidang Hukum Prof Dr Sunarno Edy Wibowo, S.H., M.H, potensi dikabulkannya gugatan dalam sidang pra peradilan sangat tergantung pada bukti dan argumen yang diajukan di persidangan.
"Pasal 75 menjadi landasan penting dalam membuat berita acara terkait pemeriksaan tersangka, penangkapan, penahanan, dan tindakan hukum lainnya," ungkap lelaki yang akrab disapa Prof Bowo ini.
Prof Bowo memaparkan, bahwa Pasal 75 mengatur berbagai tindakan yang harus diarsipkan dalam berita acara, termasuk pemeriksaan surat, pemeriksaan saksi, dan pelaksanaan penetapan serta putusan pengadilan.
"Semua tindakan tersebut harus didokumentasikan dengan cermat dan berdasarkan kekuatan sumpah jabatan," ujarnya.
Dosen hukum yang juga Guru Besar di ASEAN University Internasional Malaysia ini nekankan, bahwa integritas berita acara menjadi kunci utama dalam memastikan kelancaran proses hukum.
"Apabila berita acara disusun dengan akurat dan sesuai dengan ketentuan undang-undang, maka potensi kabulnya gugatan dalam sidang pra peradilan semakin besar," jelas Prof Bowo.
Dia menggambarkan dasar hukum yang menjadi landasan bagi mantan ketua KPK untuk mengajukan praperadilan. Ia merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2014 yang menetapkan seseorang sebagai tersangka berhak mengajukan pra peradilan.
"Sehubungan dengan pasal 77 sampai 83, ini ada hubungannya dengan mantan ketua KPK. Jika pra peradilan dikabulkan, berarti menganulir Keppres karena dinonaktifkan dengan adanya PLT penggantinya," tukasnya.
Proses pra peradilan ini berkaitan erat dengan peran Presiden dalam nonaktifkan ketua KPK. Menurut Prof Bowo, undang-undang nomer 30 tahun 2002 menyebutkan bahwa ketua KPK yang menjadi tersangka harus dinonaktifkan melalui Keppres. Namun, perubahan dalam undang-undang tahun 2019 membuat KPK menjadi independen, dan hal ini menjadi perdebatan dalam konteks preseden terburuk.
Prof Bowo menegaskan bahwa peran hakim dalam sidang pra preadilan sangat krusial.
"Hakim yang mengutus dan pra peradilan tidak bisa ada upaya apapun, baik upaya banding, kasasi, maupun PK. Hal ini menunjukkan keputusan hakim harus dihormati dan tidak dapat diganggu gugat,” tuturnya.
Ia juga menyoroti pentingnya proses hukum yang teliti. Dalam konteks penetapan tersangka, Prof Bowo menjelaskan bahwa prosesnya tidak langsung, melainkan melalui serangkaian tahapan seperti pemeriksaan saksi, penggeledahan barang bukti, dan melibatkan ahli.
"Semua itu tergantung dari keputusan Presiden. Jika dikabulkan, mantan ketua KPK dapat kembali lagi sebagai Ketua KPK sesuai dengan Keppres. Namun, ada plus dan minusnya terkait independensi KPK," tambah Prof Bowo.
Namun, Jika hakim menolak gugatan pra peradilan yang dilayangkan oleh Mantan Ketua KPK ini, lanjut Prof Bowo, bisa jadi Firli Bahuri akan ditahan.
“Yaa, bisa saja dia (Firli) langsung ditahan, karena bukti-bukti kasus dugaan pemerasan yang diajukan penyidik cukup kuat,” katanya.
“Misalnya putusan hakim nanti menolah gugatan pra peradilan yang diajukan Firli Bahuri, bisa saja dia nantinya langsung ditahan yaa, karena berkasnya nanti akan diserahkan penyidik Polda Metro Jaya ke Kejaksaan karena dianggap suda P 21. Tapi lebih baik kita tungga saja putusan dari Hakim,” pungkas Prof Bowo. (msi/gol)