- tim tvone - tim tvone
Akhiri Polemik Lahan Desa Pakel, Polresta Banyuwangi Pertemukan Warga dan BPN
Banyuwangi, tvOnenews.com – Konflik sosial yang terjadi di Desa Pakel, Kecamatan Licin, sudah terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Melihat situasi perebutan lahan antara warga Desa Pakel dengan Perkebunan Bumisari yang tidak kunjung tuntas, Polresta Banyuwangi mempertemukan warga Desa Pakel dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Banyuwangi.
Dalam diskusi “Menuju Pakel Damai dan Sejahtera” yang diinisiasi Polresta Banyuwangi, Senin (10/6), Badan Pertanahan Nasional (BPN) Banyuwangi menyampaikan saran adanya mediasi para pihak terkait lahan tersebut. Mediasi dianggap upaya jitu agar persoalan lahan yang sudah menahun tersebut segera ada titik temu.
“Kalau ada sengketa pertanahan, bisa menempuh mediasi. Kami mengusulkan duduk bersama antar pihak yang bersengketa. Lalu, mencari kesepakatan,” kata staf Seksi Perkara dan Sengketa BPN Banyuwangi, Eko Prianggono.
Saat ini, lahan di Desa Pakel yang berpolemik masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan swasta PT Bumisari Maju Sukses. HGU itu terbit berdasarkan permohonan yang diterima BPN. Apabila belum ada kesepakatan, masih ada jalan mengajukan gugatan perdata ke pengadilan. Bahkan, sertifikat HGU yang diterbitkan BPN bisa digugat ke PTUN.
“Kalau di pengadilan memang ada putusan membatalkan sertifikat, kami tentunya akan tunduk pada putusan pengadilan,” beber Eko.
Pihaknya berharap, pihak yang berpolemik lahan Pakel bisa duduk bersama. Misalnya, dari ahli waris akta 1929 sebagai rujukan dan pihak perkebunan yang mengantongi sertifikat HGU. Bisa juga diikuti kelompok yang mengklaim lahan Pakel. Namun, tetap dengan bukti yang akurat.
“Intinya ahli waris bertemu dengan para pihak yang berpolemik. Jadi jelas titik temunya, tanpa memicu masalah baru,” tegasnya.
Lamanya polemik lahan ini membuat kondisi Pakel kurang nyaman bagi warga. Padahal, ahli waris lahan Pakel berharap adanya kerukunan.
“Kami berharap pemerintah turun tangan, lakukan mediasi. Jadi, ada kejelasan terkait status tanah. Harus sama-sama legowo apapun keputusannya,” kata Rudhi Priyantono, cicit dari Senen yang membuka lahan Pakel tahun 1929.
Pria ini juga sepakat dilakukan mediasi. Jika memang lahan itu milik negara, para pihak diminta sama-sama menerima.
“Memang kami memiliki akta 1929 di zaman Belanda. Tapi, akta itu belum pernah didaftarkan kepemilikan ke BPN,” tegasnya.
Perlu diketahui, akta 1929 itu ternyata tidak di tangan para ahli waris. Sebab, kala itu Akta 1929 itu dititipkan ke perangkat desa. Hingga kini belum dikembalikan dan dinyatakan hilang. Padahal, sesuai akta 1929, Bupati Banyuwangi Noto Hadisuryo memberikan izin pembukaan lahan pakel pada tiga orang. Yaitu Dulgani, Karso dan Senen. Luas lahan yang dibuka mencapai 3000 hektar. Dari ketiganya, hanya Dulgani dan Senen yang memiliki keturunan. (hen)