soal putusan MA persyaratan usia calon kepala daerah.
Sumber :
  • tim tvone - sandi irwanto

Putusan MA soal Persyaratan Usia Calon Kepala Daerah, Begini Pemaparan Pakar Hukum Tata Negara

Jumat, 21 Juni 2024 - 11:56 WIB

Surabaya, tvOnenews.com - Putusan Mahkamah Agung (MA) terkait persyaratan batasan usia calon pilkada mendapat sorotan banyak pihak. Diantaranya dari pakar hukum tata negara di Surabaya yang menilai putusan tersebut janggal, dan seolah-olah memberi karpet merah kepada calon tertentu. 

Pakar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus Surabaya, Dr Hufron SH MH menyebutkan, terkait hak uji materiil peraturan KPU RI nomor 9 tahun 2020 tentang persyaratan calon kepala daerah terkhusus pasal 4 ayat 1, yang semula untuk persyaratan calon gubernur dan wakil gubernur adalah berumur 30 tahun, sedangkan Bupati/ Wakil bupati - Walikota/ Wakil walikota berumur 25 tahun dihitung sejak ditetapkan menjadi pasangan calon.

Tetapi, setelah diajukan ke Mahkamah Agung, pihak MA mengoreksi peraturan KPU RI dan membatalkannya dengan diganti redaksinya, bahwa usia 30 tahun untuk Gubernur /Wakil gubernur dan 25 tahun untuk Bupati/ Wakil Bupati Walikota dihitung sejak dilantik pasangan calon terpilih. Putusan Mahkamah Agung nomor 23 tahun 2024 mendapat sorotan publik dan menimbulkan kontroversi. Seolah mengingatkan kembali soal putusan MK nomer 90 tahun 2023 terkait persyaratan calon wakil presiden.

“Namun, apapun putusannya adalah itu berkekuatan hukum tetap, karena itu adalah membatalkan persyaratan calon kepala daerah, maka menurut saya mesti ditindaklanjuti dengan perubahan peraturan KPU nomor 9 tahun 2020,” ungkap Hufron.

Hanya saja, lanjut Hufron, persoalan ini menjadi menarik karena ada distanting opinion salah satu hakim anggota, yang mengatakan bahwa sesungguhnya pengajuan materi ini patut ditolak. Hal ini karena berkaitan dengan peraturan KPU tentang persyaratan calon di pasal 4 ayat 2 tersebut.

“Sesungguhnya dari azas hukum itu sudah clear and clean. Sudah jelas bahwa boleh saja KPU menetapkan secara tegas calon kepala daerah untuk gubernur dan wakil gubernur usianya 30 tahun, sedangkan bupati wakil bupati/ walikota wakil walikota itu 25 tahun dihitung sejak penetapan pasangan calon,” paparnya. 

Menurut Hufron, dalam kajian akademik putusan MA tersebut dipandang tidak tepat, karena sebenarnya kaitan dengan pasal 4 ayat 2 itu merujuk pada pasal 7 ayat 2 huruf e undang-undang Pilkada, yang intinya menentukan persyaratan calon pilkada. Tetapi MA ternyata bukan membicarakan soal persyaratan calon melainkan sudah wilayah pelantikan. 

“Kalau itu wilayah pelantikan tidak menjadi domainnya KPU untuk mengatur. Tapi itu sudah pada wilayah domainnya Menteri Dalam Negeri untuk mengaturnya. Jadi, mestinya peraturan KPU itu sudah tepat berada pada wilayah kewenangan KPU untuk mengatur. Sesungguhnya masuk akal kalau itu dihitung berdasarkan sejak pasangan calon (pilkada) itu ditetapkan, bukan sejak dilantik. Karena kalau dilantik itu sudah menjadi kewenangan Menteri Dalam Negeri, bukan lagi KPU,” terangnya.

Kontroversi putusan MA persyaratan terkait calon pilkada ini ditengarai memberikan karpet merah bagi calon pasangan  tertentu sudah menyeruak di wilayah publik. 

“Hal itu bisa iya, bisa tidak. Tetapi yang hendak diubah ini memang soal normanya, karena kita punya pengalaman sejarah, bahwa peraturan itu ternyata bisa dibatalkan melalui putusan MA. Maka bersama dengan itu ada masyarakat sipil yang mengajukan permohonan uji materi, permohonan Yudisial review terhadap pasal 7 ayat 2 huruf E undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada,” jelas Hufron.

Jadi, hal ini menjadi menarik karena di satu sisi ada putusan MA terkait persyaratan calon pilkada tersebut yang berkekuatan hukum tetap, namun di sisi lain sedang dipersoalkan pasal 7 undang-undang pasal 7 ayat 2 huruf E undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada untuk diuji kepada Mahkamah Konstritusi (MK).

“Ada kemungkinan putusan MK akan berbeda dengan putusan di MA. Bagaimana kalau ternyata putusan di MK mengatakan bahwa adalah tepat bilamana pasal 7 ayat itu adalah dihitung sejak penetapan pasangan calon (pilkada), tetapi di MA sudah diputus sejak pelantikan,” ujarnya.

Mana yang kemudian itu diberlakukan? Berdasar pengalaman keputusan MK yang terdahulu, kata Hufron, dalam kasus kaitannya dengan pencalonan Pak Sapta Odang sebagai pengurus Partai Hanura, tapi masuk melalui jalur DPD RI. Putusan Mahkamah Konstitusi menyebutkan harusnya supaya tidak merusak sistem soal masuknya nama seseorang menjadi calon DPD, harusnya dia ada unsur seseorang bukan partai. 

“Yang dipakai adalah putusan MK karena dipandang atau tujuan daripada putusan MK itu adalah menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Sementara MA adalah menguji peraturan di bawah undang-undang,” pungkasnya. (msi/hen)

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
03:15
06:42
02:42
02:53
01:34
00:56
Viral