- Tim tvOne/Wawan Sugiarto
Buah Pinang Dulu Tak Berharga, Kini Jadi Primadona
Lumajang, Jawa Timur - Kesuksesan Daim warga Desa Sumberpetung, Kecamatan Ranuyoso, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur menanam ribuan pohon pinang nampaknya mulai ditiru warga lain di Lumajang.
Sebab, buah pinang yang awalnya tidak memiliki harga, kini telah memiliki nilai ekonomi tinggi.
Buah pinang basah kini bisa dihargai sampai Rp11.000 per kilogramnya. Padahal, dulu buah pinang hanya Rp3.000 per kilogram.
Bahkan, buah pinang kering yang biasa dikirim ke luar Pulau Jawa seperti Nusa Tenggara Timur dan Papua memiliki harga yang jauh lebih tinggi.
"Ini harga yang super Rp77.000 satu kilo, sedangkan yang biasa Rp44.000 satu kilo," kata Hasan, pengepul buah pinang di Desa Tegalrandu, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang, Kamis, (16/6/2022).
Menurut Hasan, buah pinang jadi semacam makanan pembuka sebelum mengonsumsi hidangan utama di kawasan Indonesia Timur. Selain itu, warga di sana juga menjadikan pinang sebagai camilan harian.
Dalam seminggu, Hasan bisa mengirimkan pinang kering yang sudah dirajang sampai tiga kali pengiriman. Setiap pengiriman setidaknya terdapat dua ton pinang kering.
"Tergantung pesanan, bisa sampai tiga kali seminggu. Di sana pinang ini seperti camilan," tambahnya.
Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Lumajang Mamik Woro mengatakan kesuksesan Daim menjadi pemicu warga lain untuk menanam pinang.
Kini, ada 239.5 hektare lahan yang ditanami pinang di Lumajang. Luasan itu merupakan hasil kalkulasi dari lahan warga yang ditanami pinang.
Meski banyak warga yang mulai tertarik, kebanyakan dari mereka tidak melalukan penanaman satu jenis tanaman saja di lahannya.
"Mulai banyak memang. Tapi ya itu, tidak monokultural yang ditanam," kata Mamik.
Mamik menambahkan bahwa Kabupaten Lumajang sebenarnya merupakan penyuplai berbagai macam komoditas bagi daerah lain.
Namun, secara kuantitas tidak bisa untuk memenuhi pasar internasional. Sehingga, Lumajang belum mampu menjadi eksportir dari komoditas yang tumbuh di Lumajang.
"Sebenarnya banyak yang bisa kita jual keluar, tapi karena kuantitasnya itu kurang, jadi kita ikut daerah lain untuk ekspornya seperti manggis itu kita ikut Banyuwangi," sesalnya.
Mamik juga menjelaskan pemerintah daerah kesulitan melakukan intervensi kepada petani. Pasalnya, program yang dimiliki masih bergantung dari program pemerintah pusat.
"Kita kesulitan karena program-program pertanian ini bergantung dari programnya pusat. Walaupun kita mengajukan, tapi kalau pusat tidak memberikan ya kita tidak bisa apa-apa, sedangkan APBD kita juga kecil," pungkasnya. (wso)