- tim tvone - zainal ashari
Dugaan Pencabulan di Pondok Pesantren Tuai Banyak Kecaman, DPRD Jatim : Tak Perlu Khawatir Titip Anak di Pondok
Surabaya, Jawa Timur - Kasus mangkirnya MSAT atas perbuatan mencabuli santriwati Pondok Pesantren Shiddiqiyah, Ploso, Jombang, menuai kecaman dari sejumlah tokoh masyarakat di Jawa Timur. Kasus pelecehan seksual di pondok pesantren tersebut mencoreng citra pendidikan pesantren dan memunculkan stigma negatif di masyarakat.
Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Anik Maslachah menghimbau agar para orang tua tidak perlu khawatir berlebihan untuk memondokkan anaknya ke pondok pesantren (Ponpes), lantaran mencuatnya kasus pelecehan santriwati, yang dilakukan oleh salah satu anak pengasuh ponpes di Ploso, Jombang dan oleh oknum keluarga pengasuh ponpes di Banyuwangi.
Menurut politikus asal PKB tersebut, jumlah kasus serupa diprosentase dengan kasus di luar pondok pesantren, tentu jumlahnya lebih banyak yang ada di luar pondok pesantren.
"Tapi kami tidak menganggap hal ini wajar. Karena itulah DPRD Jatim hadir dalam Perda Fasilitasi Pengembangan Pondok Pesantren dengan memberikan kepastian tentang Ponpes ramah anak,” terangnya.
“Pada perda tersebut mengamanahkan Pemprov bisa melakukan pendampingan, pembinaaan dan fasilitasi dalam mengembangkan ponpes ramah anak dan mayoritas Ponpes di Jatim sudah melakukan itu," ungkap Anik Maslachah, saat dikonfirmasi, Kamis (7/7).
Lebih jauh Sekretaris DPW PKB Jatim ini berharap kepada ponpes yang sudah mengalami hal ini, bisa kooperatif dengan aparat penegak hukum yang menangani kasus tersebut.
"Tentunya ini menjadi pembelajaran penting bagi ponpes lainnya untuk tidak melakukan hal serupa," harap Anik Maslachah.
Senada, Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim, Hikmah Bafaqih menambahkan bahwa kasus kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, kapan saja dan menimpa siapa saja.
"Saya termasuk penyedia jasa layanan yang melayani korban kekerasan maupun pelecehan terhadap perempuan dan anak. Saya bersaksi bahwa kasus di luar ponpes lebih banyak dibandingkan yang terjadi di ponpes. Hanya saja karena pesantren itu lembaga yang dianggap suci maka ekspektasi kita terhadap pesantren pasti lebih," terang politikus asal Malang.
Kendati demikian, lanjut Ketua Perempuan Bangsa Jatim, ponpes tetap menjadi lembaga yang aman dan anak-anak tetap bisa belajar dengan tenang. Namun orang tua (wali santri) tetap wajib memberikan pengawasan penuh kepada anak-anaknya yang mondok.
"Tidak bisa dipasrahkan 100 persen kepada pengurus atau pengasuh ponpes. Tetap harus dalam kontrol dari orang tua," beber Hikmah Bafaqih.
Dia menegaskan bahwa adanya kekhawatiran orang tua yang menganggap pondok pesantren tidak aman karena banyak terjadi kasus kekerasan seksual, belum boleh menjadi kesimpulan akhir. Sebab jumlah kasusnya dengan jumlah pesantren dan jumlah santri sangat jauh perbandingannya.
"Sebagai ibu, saya menempatkan anak-anak saya untuk menempuh pendidikan di pesantren. Dan saya merasa aman dengan pilihan itu," tegas istri Alm Andre Dewanto ini.
Terpisah, Ketua PWNU Jatim KH Marzuqi Mustamar meminta aparat penegak hukum menindak tegas pelaku dugaan pelecehan terhadap santriwati di ponpes yang ada di pesantren Jombang maupun di Banyuwangi.
Menurutnya, hukum harus berlaku kepada siapa saja dan tidak pandang bulu. Termasuk penanganan kasus yang melibatkan MSAT yang diketahui merupakan anak seorang kyai salah satu Ponpes Shiddiqiyah Ploso Jombang.
"Mau kaya, mau miskin, mau pejabat, mau rakyat, mau tokoh, mau enggak tokoh, negara yang dalam hal ini penegak hukumnya kepolisian, kejaksaan dan pengadilan tidak boleh kalah dengan kelompok atau dengan apapun," pinta pengasuh Ponpes Sabilurrosyad Gesek Malang ini.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Jatim, Restu Novi Widiani mengatakan jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jatim masih cukup tinggi.
Data DP3AK mencatat, kekerasan terhadap perempuan mulai Januari hingga Mei 2022 sebanyak 241 kasus, sedangkan kekerasan terhadap anak sebanyak 319 kasus.
"Jumlah kasus kekerasan fisik terhadap perempuan mencapai 105 kasus atau 43,6 persen. Sedangkan kekerasan psikis 144 kasus atau 59,8 persen. Kemudian penelantaran perempuan mencapai 40 kasus atau 16,6 persen dan traficking hanya 1 kasus atau 0,4 persen," pungkas Novi. (zaz/hen)