- tim tvone - umar sanusi
Hadiri Haul ke 44, Gubernur Khofifah Dukung Penuh Pengajuan KH. M. Bisri Syansuri jadi Pahlawan Nasional
Jombang, Jawa Timur - Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyatakan dukungannya atas pengajuan KH M Bisri Syansuri menjadi Pahlawan Nasional, yang disampaikan saat menghadiri haul ke 44 dan Nyai Hj Nur Khodidjah ke 74 yang merupakan kakek dan nenek di Pondok Pesantren Mambaul Ma'arif Denanyar, Jombang. Keduanya merupakan kakek dan nenek Gus Dur dari arah ibu.
"Beliau sosok yang memliki peran luar biasa pra dan pasca kemerdekaan, serta ikut memajukan pendidikan pada kaum perempuan," papar Khofifah.
Menurut Gubernur Khofifah, Kiai Bisri memiliki jasa besar dalam perjuangan bangsa terutama saat resolusi jihad. Bukan berhenti di situ, tetapi dilanjutkan dalam mengisi kemerdekaan untuk memajukan pendidikan untuk kaum perempuan. Kiai Bisri menjadi pendiri Pondok Pesantren Putri pertama di nusantara.
“Kepada dzuriyah Denanyar, saya secara khusus menyampaikan proses pengajuan KH. M. Bisri Syansuri menjadi pahlawan nasional agar dimaksimalkan pemenuhan persyaratannya,” pinta Khofifah usai acara.
Hal tersebut dirasa penting mengingat perjuangan KH. M. Bisri Syansuri saat menjadi komandan dan membantu mengkomunikasikan gerakan pasukan Hizbullah dan pasukan Sabilillah bersama para santri saat resolusi jihad merupakan sentral komando pergerakan pasukan.
“Selain itu, beliau juga memiliki peran yang luar biasa dalam proses perjuangan bagi bangsa dan negara saat pra dan pasca kemerdekaan,” katanya.
Sebagaimana diketahui, KH. M. Bisri Syansuri adalah seorang ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang lahir pada 18 September 1886 di Tayu, Pati, Jawa Tengah. Semasa kecil, Bisri muda belajar pada KH Abd Salam, seorang ahli dan hafal Al-Qur’an dan juga ahli dalam bidang fiqih.
Disana, ia belajar ilmu nahwu, saraf, fiqih, tasawuf, tafsir, hadits. Gurunya dikenal sebagai tokoh yang disiplin dalam menjalankan aturan agama. Usia 15 tahun, mulai belajar ilmu agama di luar tanah kelahirannya. Pada kedua tokoh agama yang terkenal pada waktu itu yaitu KH Kholil Kasingan Rembang dan KH Syu’aib Sarang, Lasem, Jawa Tengah.
Bisri muda juga berguru kepada Syaikhona Kholil Bangkalan. Di pesantren inilah ia kemudian bertemu dengan KH Abdul Wahab Chasbullah, seorang yang kemudian menjadi kawan dekatnya hingga akhir hayat di samping sebagai kakak iparnya.
Lalu Kiai Bisri berguru kepada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng. Di pesantren itu, beliau belajar selama 6 tahun. Beliau memperoleh ijazah dari gurunya untuk mengajarkan kitab-kitab agama yang terkenal dalam literatur lama, mulai dari kitab fiqih Al-Zubad hingga kitab hadits seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Pada tahun 1912 sampai 1913, beliau berangkat melanjutkan pendidikan ke Makkah bersama KH Abdul Wahab Chasbullah. Di kota suci itu, mereka belajar kepada Syekh Muhammad Bakir Syekh Muhammad Said Yamani Syekh Ibrahim Madani, dan Syekh Al-Maliki, juga kepada guru-guru Kiai Haji Hasyim Asy’ari, yaitu Kiai Haji Ahmad Khatib Padang dan Syekh Mahfudz Tremas.
Saat di Makkah, Kyai Bisri meminang adik dari KH Wahab Chasbullah yakni Nur Khodidjah. Pasca menikah keduanya tinggal dan menetap di Tambak Beras, Jombang. Mereka dikaruniai sembilan orang anak yang salah satunya yakni Sholihah. Sholihah menikah dengan Kyai Wahid Hasyim yang juga merupakan ayah dari Mantan Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Bersama istri, KH. M. Bisri Syansuri mulai merintis pendirian pesantren di atas tanah milik pribadi yang terletak di Desa Denanyar pada tahun 1917. Sebelum adanya Pesantren Mambaul Maarif, Desa Denanyar merupakan “daerah hitam”.
Saat itu, warga disana menjalani hidup tanpa mengindahkan kaidah moral dan ajaran Islam. Perjudian, perampokan, tindak kekerasan, perzinaan, dan perilaku maksiat lainnya menjadi pemandangan sehari-hari. Kondisi inilah yang justru menyemangati pasangan Kiai Bisri Syansuri dan Nyai Hj Nur Khodijah dalam berdakwah.
Seiring bertambahnya waktu, pendekatan dakwah Kiai Bisri Syansuri dan Nyai Hj Nur Khodijah semakin diminati masyarakat, khususnya kaum wanita. Mereka mulai terbuka pandangannya.
Masyarakat mulai memahami bahwa dalam ajaran Islam kedudukan wanita dimuliakan. Sejak saat itu, Pesantren Mambaul Maarif bukan hanya tempat kaum pria mendalami agama Islam, tetapi juga bagi kaum wanita. Dari situlah cikal bakal lahirnya Pondok Pesantren Putri Mambaul Maarif.
Dari perjalanan panjang tersebut, Gubernur Khofifah mengatakan, pengajuan gelar pahlawan nasional untuk Kiai Bisri ini sama sekali bukan kepentingan keluarga atau dzurriyat. Melainkan menurutnya hal tersebut menjadi bagian penting dari catatan perjalanan sebuah bangsa.
“Saya tadi komunikasikan dengan Staf Khusus Menkopolhukam karena Pak Menkopolhukam adalah ketua dewan gelar. Hal ini untuk mengetahui sejauh mana proses pengajuan tersebut dilakukan. Karena jika ada kekurangan dokumen, kami akan lengkapi,” tuturnya.
Khofifah menandaskan, pengajuan menjadi Pahlawan Nasional bukan untuk kepentingan keluarga KH. M. Bisri Syansuri, melainkan untuk menjadi rekaman komprehensif bahwa mereka yang pernah berkontribusi pada proses pengorbanan, perjuangan dan perjalanan bangsa punya jejak sejarah yang bisa dijadikan teladan.
Jika tidak diajukan sebagai pahlawan nasional, lanjut Gubernur, maka dokumen perjalanan perjuangan beliau sekedar sebagai dokumen keluarga dan PP Mambaul Maarif. Tetapi jika sebagai pahlawan nasional akan tercatat dalam jejak sejarah bangsa yang menjadi dokumen nasional sehingga dapat diteladani oleh seluruh warga bangsa.
“Bahkan seringkali tamu-tamu kepala negara lain jika melakukan kunjungan ke suatu negara mereka ke makam pahlawan sebagai bentuk penghornatan. Disinilah harapannya catatan rekam jejak sejarah KH. M. Bisri Syansuri bisa terdokumentasikan.
“Dan ingatlah bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya,” tegas Khofifah. (usi/hen)